Senin, 30 Desember 2013

Sosiologi Politik : Konsep-konsep Politik




BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG


Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terdapat aspek politik yang terus mengalami perkembangan dalam pembangunan jangka panjang, sektor ekonomi masih tetap mendapat prioritas utama. Sedangkan aspek politik yang menyangkut pemerintahan dan kenegaraan, stabilitas tidak dapat diabaikan.

Untuk memenuhi tuntutan tersebut, perkembangan dan pengembangannya harus tetap diupayakan. Stabilitas tersebut, bukan berarti statis melainkan dinamik mengikuti perubahan serta perkembangan internal maupun eksternal global.

Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas tentang  Konsep-konsep Politik.



B  Tujuan

Untuk memberikan informasi tentang Konsep-konsep Politik.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep-konsep politik
 Untuk melakukan efisiensi dan efektivitas bagi manusia. Hal ini bisa kita fahami karena informasi-informasi itu kian terus bertambah banyak dan semuanya harus diidentifikasi dalam simbol-simbol yang dapat disepakati. Caranya adalah dengan dengan merumuskannya dalam konsep-konsep yang mereduksi informasi-informasi tersebut menurut proporsi-proporsi yang dapat ditangani (Sjamsuddin, 1996: 15). Adapun konsep-konsep yang dimaksud, seperti berikut :
1.      Kekuasaan
2.      Kedaulatan
3.      Kontrol sosial
4.      Negara
5.      Pemerintah
6.      Legitimasi
7.      Oposisi
8.      Sistem politik
9.      Demokrasi
10.  Pemilihan umum
11.  Partai politik
12.  Desentralisasi
13.  Persamaan
14.  Demonstrasi
15.  Hak asasi manusia
16.  Voting


1.Kekuasaan
Kekuasaan adalah konsep politik yang paling banyak dibahas. Hal ini tidak mengherankan sebab konsep ini sangat krusial dalam ilmu sosial pada umumnya, dan dalam ilmu politik khususnya. Malah pada suatu ketika politik di anggap identik dengan kekuasaan. Pengertian kekuasaan sendiri adalah kemampuan seseorang  atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu (Budiardjo, 2000: 35).
a.       Kekuasaan manifes (manifest power)
Biasanya kekuasaan diselenggarakan (exercise of power) melalui isyarat yang jelas.
Contohnya : seorang polisi yang menghentikan pengendara motor karena melanggar peraturan lalu lintas.
b.      Kekuasaan implisit ( implicit power)
Perilaku B ditentukan oleh reaksi yang diantisipasikan jika keinginan A tidak dilakukan oleh B.
Contohnya : seorang anak sekolah yang membatalkan rencana untuk main bola dan memutuskan untuk membuat pekerjaan rumahnya, karena takut akan dimarahi ayahnya.

2. Kedaulatan
Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang teredia. Konsep ”kedaulatan” mengacu dapat dibedakan menjadi  dua telaahan dilihat dari  Hukum Tata Negara; konsep kedaulatan mengacu kepada kekuasaan pemerintah negara yang tertinggi dan mutlak.  Kedua; dilihat  dari Hukum Internasional  mengacu kepada kemerdekaan suatu negara terhadap negara-negara lain (Shadily, 1984: 1711).
Kemudian jika ditinjau dari jenis ataupun bentuknya,ragam kedaulatan itu dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
1.      Kedaulatan hukum. Dalam Hukum Tata Negara menyatakan bahwa hukum itu berdaulat; kedaulatan ini terlepas dari kedaulatan kekuasaan negara. Negara harus tunduk juga pada kedaulatan hukum, walaupun tidak cocok dengan kehendak negara. Dengan demikian teori ini melandaskan pada kesadaran hukum masyarakat. Adapun tokohnya ajaran kedaulatan hukum tersebut adalah seorang ahli hukum Belanda, yakni Hugo Krabe.
2.      Kedaulatan Negara. Dalam Hukum Tata Negara menyatakan bahwa azas kedaulatan mutlak terletak pada penguasa negara. Menurut teori kedaulatan negara ini bahwa ”kehendak negara merupakan sumber hukum utama”. Kehendak negara tersebut termuat dalam perundang-undangan dan hukum kebiasaan yang diakui dengan undang-undang. Beberapa tokoh ajaran ini adalah Kelsen, Laband, Jhering dan Jellinek.
3.      Kedaulatan rakyat. Dalam hal ini bahwa kedaulatan harus berada pada tangan rakyat. Implikasinya dari bentuk kedaulatan tersebut bahwa kekuasaan untuk membuat undang-undang harus dilakukan oleh rakyat dengan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai sumber hukum utama adalah Undang-undang. Dengan demikian yangberdaulat adalah kehendak rakyat atau kehendak umum (volonte generale). Adapun tokoh ajaran kedaulatan rakyat tersebut adalah J.J. Rousseau.
3. Kontrol Sosial
Kontrol sosial adalah pengaturan tingkah laku manusia oleh kekuatan sosial yang dilakukan di luar pemerintahan  untuk memelihara menurut hukum dan aturan itu yang muncul di dalam tiap-tiap masyarakat dan institusi. Dengan demikian kontrak sosial merupakan doktrin bahwa pemerintahan itu didirikan untuk dan oleh rakyat melandasi semua negara yang menyatakan dirinya demokratis. Adanya control social tentunya diharapkan dapat berfungsi sebagai pedoman sekaligus sebagai pengawas berbagai perilaku anggotanya didalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari sejarahnya, kontrak sosial itu diperjuangkan sejak zaman Thomas Hobbes, John Locke, maupun J.J. Rousseau.

4. Negara
Negara adalah integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dalam kekuasaan politik. Namun, negara juga merupakan alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat menertibkan fenomena kekuasaan dalam masyarakat. Jadi negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan atau asosiasi, maupun oleh negara sendiri. Dengan demikian negara dapat mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kagiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama. Dalam rangka ini, negara mempunyai 2 tugas, yaitu :
a.       Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonis yang membahayakan.
b.      Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.
Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan dengan perantaraan pemerintah beserta segala alat perlengkapannya. Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan teratur, maka dari itu dapat menempatkan diri dalam rangka ini.



5. Pemerintah                     
Mengikuti rumusan Finer (1974), istilah pemerintah bisa kita bagi dalam 4 pengertian, yaitu:
1.      pemerintah mengacu kepada proses memerintah, yakni pelaksanaan kekuasaan oleh yang berwenang.
2.      Istilah ini bisa juga dipakai untuk meyebut keberadaan proses itu sendiri, kepada  kondisi adanya tata aturan.
3.      Pemerintah capkali berarti orang-orang yang  mengisi kedudukan otoritas dalam masyarakat atau lembaga, artinya kantor atau jabatan-jabatan dalam pemerintahan.
4.      Istilah ini bisa juga mengacu kepada bentuk, metode, atau sistem pemerintahan dalam suatu masyarakat, yakni struktur dan pengelolaan dinas pemerintahan dan hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.
Negara mencakup semua penduduk, sedangkan pemerintah hanya mencakup sebagian kecil daripadanya. Pemerintah sering berubah, sedangkan negara terus bertahan (kecuali kalau dicaplok oleh negara lain). Beberapa kecenderungan dalam pemerintah yang berdaulat pada masyarakat maju sekarang ini, paling tidak memiliki tiga perangkat dinas yang terpisah; yakni:
1.      peran legislatif  untuk membuat peraturan-peraturan.
2.      peran eksekutif  yang kadang-kadang dicampuradukkan dengan pemerintah, bertanggung jawab menjalankan hukum itu dan dalam masyarakat politik yang sudah maju memainkan peran dominan dalam usulan-usulan peraturan baru.
3.      peran yudikatif yang bertanggungjawab untuk menafsirkan hukum dan menerapkannya dalam masing-masing kasus.
Begitu juga dalam kajian tentang pemerintah kini mengalami perubahan terutama sejak Perang Dunia II. Kalau saja pada mulanya yang difokuskan adalah aspek-aspek formal termasuk konstitusinya pada setiap negara secara terpisah. Akan tetapi sejalan dengan pengaruh behavioralisme, kini fokusnya bergeser ke bagaimana sebuah pemerintah beroperasi, baik lembaga-lembaga formal maupun non-formalnya termasuk partai-partai politik, kelompokkepentingan dalam suatu kerangka komparatif (Curtice, 2000: 419).

6. Legitimasi (legitimacy atau keabsahan)
Konsep legitimasi ini merupakan yang terutama penting di suatu sistem politik dalam sistem kekuasaan, mengingat dengan legitimasi yang diperolehnya tersebut dapat memudahkan ataupun melancarkan suatu pengaruh kekuasaan yang dimiliki seseorang ataupun kelompok. Namun demikian legitimasi tidak menjamin akan dapat memuaskan para anggotanya yang terusmenerustanpa batas terhadap kepemimpinannya itu. Hal ini terjadi jika sang pemimpin atau pemegang kekuasaan itu nampak mengingkari tidak memenuhi tuntutan yang dipimpinnya (Johnson, 1986: 91).
. Legistimasi adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok, atau penguasa andalah wajar dan patut dihormati. Kewajaran ini berdasarkan presepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu sesuai dengan asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prosedur yang sah. Jadi, mereka yang diperintah menganggap bahwa sudah wajar peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh peguasa dipatuhi.
Jika dalam suatu sistem politik terdapat konsesus mengenai dasar-dasar dan tujuan-tujuan masyarakat, keabsahan yang dipakai oleh setiap rezim dapat ditetapkan sampai minimum. Maka dari itu pimpinan dari suatu sistem politik akan selalu mencoba membangun dan mempertahankan keabsahan di kalangan rakyat karena hal itu merupakan dukungan yang paling mantab.
Konsep ”legitimasi” menunjuk kepada keterangan yang mengesahkan atau membenarkan bahwa pemegang kekuasaan maupun pemerintah  adalah benarbenar orang yang dimaksud (yang secara hukum adalah sah). Legitimasi memegang peranan penting dalam sistem kekuasaan, mengingat dengan legitimasi yang diperolehnya tersebut dapat memudahkan ataupun melancarkan suatu pengaruh kekuasaan yang dimiliki seseorang ataupun kelompok. Namun demikian legitimasi tidak menjamin akan dapat memuaskan para anggotanya yang terusmenerustanpa batas terhadap kepemimpinannya itu. Hal ini terjadi jika sang pemimpin atau pemegang kekuasaan itu nampak mengingkari tidak memenuhi tuntutan yang dipimpinnya (Johnson, 1986: 91).
Pemikiran tentang ”legitimasi” merupakan sebuah penemuan dalam pemikiran modern, yang terwakili dengan baik pada janji Rousseau dalam  Social Contract, yang memperlihatkan bagaimana sebuah otoritas politik dapat disebut ”absah”, yang juga diperdalam oleh Max Weber, seorang ahli teoretis modern.

7. Oposisi
Konsep ”opsisi” merujuk kepada kelompok/partai penentang terhadap pemerintah resmi yang mengkritik pendapat maupun kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa. Oposisi tersebut memiliki peranan  yang penting dalam pemerintahan demokrasi, terutama jika berperan sebagai oposisi yang sehat, merupakan penyeimbang maupun kontrol atas kebijaksanaan pemerintah yang bisa saja terjadi penyimpangan-penyimpangan.
Di sanalah oposisi dibutuhkan, dan menurut Kleden (2001) bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan, tapi semacam  advocatus diaboli  atau  devil’s advocate  yang memainkan peran sebagai setan yang menyelamatkan kita justru dengan mengganggu kita terus menerus. Dalam peran ini oposisi berkewajiban mengemukakan titik-titik kelemahan dari suatu kebijakasanaan, sehingga apabila kebijaksanaan itu diterapkan, segala hal yang dapat mengakibatkan efek samping yang merugikan sudah lebih dulu ditekan seminimal mungkin. Tragedi Orde Baru yang dialami pemerintah Indonesia, bahwa oposisi dipandang sebagai  devil  (setan) tidak pernah diakui sebagai  advocate atau pembela. Sebab, sudah menjadi suatu postulat bahwa ”kekuasaan mempunyai tendensi bukan saja untuk memperbesar dan memperkuat dirinya, melainkan juga memusatkan dirinya”.
Manfaat lainnya bahwa dengan kehadiran oposisi, masalah accountability atau pertanggungjawaban akan lebih diperhatikan oleh pemerintah. Tidak semua hal akan diterima begitu saja, seakan-akan  dengan sendirinya  jelas atau beres dalam pelksanaannya. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus selalu menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu kebijaksanaandiambil, apa dasarnya, apa pula tujuan dan urgensinya (Kleden, 2001).
Dengan demikian oposisi tidak hanya bertugas untuk mengingatkan pemerintah terhadap kemungkinan-kemungkinan salah-kebijaksanaan  atau salah tindakan (sin of commission), melainkan juga mampu menunjukkan apa yang harus dilakukannya, tetapi justru tidak dilakukannya (sin of ommission). Dalam hal ini jelas kewajiban oposisi adalah melakukan kualifikasi apakah sesuatu  itu harus dilakukan, tidak harus dilakukan, atau malah tidak harus dilakukan sama sekali.

8. Sistem Politik
Konsep ”sistem politik” merupakan suatu istilah yang  mengacu kepada semua proses dan institusi yang mengakibatkan pembuatan kebijakan publik. Perjuangan persaingan kelompok untuk menguasi secara politik adalah suatu aspek/ yang utama dalam suatu sistem politik. Komponen-komponen yang berikut ini adalah bagian penting dalam suatu sistem politik;
Dengan demikian secara sederhana dalam setiap sistem politik akan mencakup:
1.      Fungsi integrasi dan adaptasi terhadap masyarakat, baik ke luar maupun ke dalam.
2.      Penempatan nilai-nilai dalam masyarakat berdasarkan kewenangan.
3.      Penggunaan kewenangan atau kekuasaan, baik secara sah maupun tidak.
Oleh karena itu berbicara tentang sistem politik pada hakikatnya sama halnya dengan berbicara tentang kehidupan politik masyarakat (social political life) yang bersifat infrra struktur, dan kehidupan politik pemerintah (governmental political life) yang bersifat supra struktur (Haricahyono, 1991).

9. Demokrasi
Konsep ”demokrasi” secara umum merupakan sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantara wakil-wakilnya. Namun ada juga yang menyatakan suatu sistem politik di mana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik (Mayo, 1960: 70).
Jika dilihat dari sejarahnya, ”demokrasi” sudah berakar sejak zaman Yunani kuno. Dalam karya Yunani kuno yang berjudul  Polis  atau negara kota, ”demokrasi” adalah nama konstitusi (sistem pemerintahan) di mana masyarakat yang lebih miskin bisa menggunakan kekuasaan untuk membela kepentingan mereka yang tiap kali berbeda dari kepentingan kaum kaya dan para bangsawan (Minogue, 2000: 214).
Aristoteles sendiri berpendapat bahwa ”demokrasi” adalah bentuk  pemerintahan yang tidak begitu bernilai dan ”demokrasi” memainkan peran yang reltif kecil dalam pemikiran politik saat itu.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           
Begitu juga menurut sejarawan saat itu, Polybius maupun penulis lainnya menyatakan bahwa suatu konstitusi yang merupakan campuran berimbang dari elemen-elemen monarki, aristokrasi, dan demokrasi  bisa stabil. Namun secara umum, saat itu demokrasi dianggap ”agresif” yang tidak stabil serta mengarah kepada tirani, dan ini bisa dilihat dalam karya Plato yang  berjudul Republik (Minogue, 2000: 214).
Demokrasi juga merupakan suatu slogan yang sangat menggoda karena tampak menjajikan dalam suatu bentuk pemerintahan yang ideal,harmonis dan mencintai kebebasan. Dalam realitasnya prinsip demokrasi senantiasa terus berubah, sejalan dengan perubahan masyarakat yang dinamis dalam penyempurnaan konstitusi. Demokrasi hanya memungkinkan tumbuh subur, jika masyarakat dapat mengakui kepentingan-kepentingan sebagian orang maupun masyarakat lainnya. Namun tidak ada negara yang benar-benar demokrasi sampai memuaskanseluruh rakyatnya maupun dengan munculnya suatu oposisi yang sempurna pula sebagai penyeimbang.
Demokrasi sebagai suatu kekuatan orang banyak, juga  bisa ditilik dalam  Magna Charta,  1215,  Bill of Rights  1689, maupun  Deklarasi Amerika  1776. Namun yang memberikan kontribusu besar terhadap konsep demokrasiadalah Revolusi Prancis. Pada saat itulah sebenarnya ”demokrasi” dianggap namabaru bagi aliran republikanisme yang merupakan kritik terhadap dominasilembaga monarki di Eropa. Dari momentum keberhasilan inilah yang kemudian penyebaran demokratisasi meluas ke mana-mana. Menurut Huntington (1991) sejauh ini ada tiga arus demokratisasi dan dua arus sebaliknya: arus pertama terjadi selama periode 1828-1926 dan arus balik pertama berlangsung selama periode 1922-1942. Arus kedua muncul pada 1943-1962 dan arus balik kedua pada 1958-1975. Arus ketiga terjadi mulai tahun 1974 sampai sekarang. Keseluruhan proses demokratisasi telah berpindah dari kawasan Anglo-Saxon dan negara-negara Eropa Utara ke cekung EropaSelatan dan Amerika Latin. Saat ini gelombangnya telah mencapai seluruh erupa Timur dan beberapa negara Asia.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                10. Pemilihan Umum
Pemilihan Umum adalah suatu kegiatan politik baik untuk memilih atau menentukan orang-orang yang duduk di dewan legislatif maupun eksekutif. ”Pemilihan umum” juga masih diyakini sebagai cara terbaik untuk memilih pejabat publik. Selain itu penyelengaraan pemilihan umum dapat dinyatakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan sebagai barometer dari kehidupan demokrasi, terutama di negara-negara Barat (Lipset, 1960; Schumpeter, 1942).
Sesuai dengan perkembangan demokrasi, pemilihan umum sekarang telah meluas tidak sekedar milik Eropa dan Amerika Utara. Pada tahun 1975 hanya 33 negara didunia yang tidak menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih para pemimpinnya. Namun bagi kebanyakan negara, pertanyaanyang lebih penting adalah, pemilihan umum macam apa yang seharusnya dilaksanakan? (Kavanagh, 2000: 284).
Adapun fungsi-fungsi adanya pemilihan umum, menurut Rose dan Mossawir (1967), antara lain:
1.      menentukan pemerintahan secara langsung maupun tak langsung.
2.      sebagai wahana umpan balik antara pemilik suara dan  pemerintah.
3.      barometer dukungan rakyat terhadap penguasa.
4.      sarana rekrutmen politik.
5.      alat untuk mempertajam kepekaan pemerintah terhadap tuntutan rakyat.
Sedangkan jika dilihat dari unsur-unsur yang diperlukan dalam pemilihan umum (Lipset dan Rokkan, 1967) yakni :
1.      Obyek pemilu, yaitu warganegara yang memilih pemimpinnya.
2.      Sistem kepartaian atau pola dukungan yang menjadi perantaraantara pemilik suara dan elite atau para pejabat publik.
3.      Sistem pemilihan (electoral system) yang menerjemahkan suara-suara menjadi kursi jabatan di parlemen ataupun pemerintahan
Dilihat dari bentuknya sistem pemilihan umum ini terdapat beberapa macam. Ada bentuk pemilihan sistem distrik yang didasarkan atassatu kesatuan geografis. Di luar itu juga menurut Kavanagh (2000: 284), terdiri dari  banyak variasi.
1.      sistem mayoritas absolut (misalnya Prancis) di mana pemenang harus memperoleh sekurang-kurangnya separuh dari total suara.
2.      sistem pluraalis (dipraktekkan di sebagaian besar negara berbahasa Inggris) dengan berbagai tingkatan proporsionalitas, mulai dari representasi proporsi murni (misalnya Belanda) di mana 0,67 persen dari total suara dapat memberi sebuah kursi di parlemen bagi sebuah kelompok, hingga ke sistem yang memadukan berbagai mekanisme seperti di Jerman (separuh kursi di parlemen diberikan kepada pihak yang memperoleh suara terbanyak, sedangkan sisanya dibagi-bagi untuk setiap pihak yang memperoleh 5 persen suara).

11. Partai Politik
Konsep ”partai politik” mengacu kepada sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kemanfaatan bagi para anggotanya baik yang bersifat  idiil maupun material (Lijphart, 2000: 731; Friederich, 1967). Oleh karena itu secara umum dapat dijelaskan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir di mana para anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan citacita serta perjuangan yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politikdan merebut kedudukan politik  biasanya dengan cara konstitusional  untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka (Budiardjo, 2000).
Tetapi definisi yang dikemukakan di atas mendapat kritikan dari Schlesinger dalam (1968) yang menganggapnya terlalu sempit dan tidak mengikutsertakan tiga jenis organisasi yang biasanya menjadi acuan berbagai partai.
1.      Organisasi yang terlalu kecil untuk dapat membuat perubahan perubahan yang realistis untuk memenangkan jabatan publik terutama posisi eksekutif  tetapi tetap mencalonkan kandidat serta berpartisipasi dalam kampanye pemilihan.
2.      Partai revolusioner, yang bertujuan untuk menghilangkan pemilihan yang kompetitif.
3.      kelompok yang memerintah dalam negara otoriter lainnya yang memiliki satu partai.

Walaupun telah dimasukkannya tiga kategori tambahan tersebut dan menjadikan definisi partai politik makin luas, namun terjadi kesulitan terutama untuk mengetahui bagaimana membedakan antara partai politik  dengan kelompok kepentingan. Sebab kelompok kepentingan kadang-kadang juga mengajukan kandidatnya untuk satu jabatan publik tanpa harus mengubah cirinya menjadi partai politik.
Untuk menjawab kesulitan baru tersebut, munculah duapendekatan baru yang ditawarkan Almond (1960) Almond mengemukakan bahwa fungsi kelmpok kepentingan(non-parpol) umumnya adalah menyuarakan kepentingankepentingan, sedangkan partai politik melayani fungsi agregasi dari berbagai kepentingan yang diartikulasikan tersebut.

12. Desentralisasi:
Konsep ”desentralisasi” dalam  Ensiklopedi Indonesia, (1984: 794) dikemukakan sebagai pemindahan hak-hak pengaturan (bagian dari perundang-undangan) dan perintah dari badan-badan penguasa atasan kepada yang lebih rendah. Mungkin definisi ini terlalu luas dan seolah-olah konsep ”desentralisasi” dilawankan dengan ”sentralisasi”. Padahal menurut Koswara (1996: 44),”desentralisasi” bukan merupakan suatu sistem yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar. Dengan demikian desentralisasi bukan pula merupakan alternatif dari sentralisasi, karena  antara desentralisasi dan sentralisasi tidak dilawankan, dan karenanya tidak  bersifat dkhotomis, melainkan merupakan sub-sub sistem dalam kerangka system organisasi negara.. Namun demikian tidak berarti kita harus pasif dan tidak kritis membedakan dengan istilah-istilah lain yang serupa. Dalam realitasnya di masyarakat, konsep ”desentralisasi” tersebut sering dikacaukan dengan konsep konsep ”dekonsentrasi” maupun ”devolusi”. Kalau saja dalam ”dekonsentrasi” hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab administrative anatar departemen pusatdengan pejabat pusat di lapangan (pejabat pusat di daerah). Sedangkan dalam  ”devulusi” adalah pemerintah pusat membentuk unit- unit pemerintah di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu untuk dilaksanakan secara mandiri (Koswara, 1996).
Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan  definisi tentang desentralisasi sebagai berikut: ”..  decentralization refers to the transfer of authority away from the national capital whether by deconcentration (i.e. delegation) to field offices or by devolution to local authorities or local bodies” Dengan demikian desentralisasi merupakan proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah, yang dapat dilakukan baik dengan delegasi kepada pejabat-pejabat di daerah (deconcentration) atau dengan  devolution  kepada badan-badan otonom daerah. Artinya bahwa dekonsentrasi dan devolusi merupakan bagian integral dari desentralisasi. Dan, menurut Bryan dkk. (1987) bahwarealitasnya ada dua bentuk desentalisasi, yakni desentralisasi yang bersifat administratif dan politik.
Kalau saja desentralisasi administratif merupakan suatu delegasi wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di  tingkat lokal. Dengan demikian pejabat tersebut bekerja dalam batas-batas rencana dan sumber pembiayaan yang sudah ditentukan, namun memiliki keleluasaan, kewenangan, dan tanggung-jawab tertentu dalam pengembangan kebijaksanaan. Sedangkandalam desentralisasi politik, adalah wewenang pembuatan keputusan dan control tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah regional dan lokal.

13. Persamaan
Sebenarnya konsep ”persamaan” atau equality, hampir melekat pada beberapa disiplin ilmu.Dalam ilmu matematika, istilah ”persamaan” memiliki makna bahwa persamaan sebagai sebuah konsep hubungan yang kompleks, sifatnya bervariasi mulai dari identitas hingga korelasi, namun di dalamnya sama sekali tidak ada kandungan nilai atau moral. Sebaliknya dalam ilmu sosial khususnya politik, konsep ”persamaan” sangat sarat nilai. Konsep ini merujuk kepada  prinsip dasar pengaturan masyarakat manusia, seperti yang dikemukakan  Thomas Jefferson, bahwa setiap orang dinyatakan punya kedudukan yang setara sebagai warganegara  (Halsey, 2000: 303). Di sinilah para ilmuwan sosial, sejak lama mencari validitas empiris atas arti ”persamaan” tersebut. Pertanyaan kunci yang hendak dijawab adalah”apakah persamaan ekonomi, politik dan sosial itu memang bisa  diwujudkan, dan sejauh manua itu bisa? Terhadap pertanyaan itu tentu saja jawabannya ampai sekarang belum disepakati, sesbab ada beberapa ahli menyebutnya \”persamaan” itu sebagai yang bersifat alamiah ataupun hokum alam, namun ada pula yang menyebutnya sebagai konstruksi soail buatan manusia yang harus diperjuangkan..
Pernyataan-pernyataan bahwa ”persamaan” itu sesuatu yang alamiah dikemukan sejak zaman Yunani kuno. Plato (427-347 sM) menyatakan bahwa kedudukan politik setiap orang secara alamiah selalu berbeda. Lain lagi dengan pernyataan Hobbes dalam Leviathan (1934 [1651]) mengemukakan pendapat yang justru sebaliknya bahwa alam menyediakan setiap orang untuk setara, meskipun ada orang yang lebih kuat dari yang lain, perbedaan hanya akan membuat orang satu mengambil keuntungan sepihak dari yang lain yang juga lalai menyadari persamaan itu. Pendapat Hobbes ini nampaknya lebih berpengaruh terutama dalam pembahasan jender dan ras. Namun persoalan yang muncul adalah nilai-nilai apa yang mengukuhkan persamaan di antara kelompok-kelompok yang terlanjur diyakini tidak sepenuhnya setara.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan serupa itulah maka Christopher Jencks dalam karyanya  Inequality  (1972) mengemukakan bahwa persamaan tidak hadir dengan sendirinya, melainkan diupayakan atau dibuat.Ia menunjuk pada reformasi pendidikan sebagai salah satu instrumennya. Sebab melalui pendidikan seseorang dapat mengejar ketertinggalannya di berbagai bidang;, politik, budaya, termasuk ekonomi. Walaupun ia juga menyadarai bahwa dengan pendidikan sering memperlebar jurang pemisahnya dengan orang-orang lain  yang kurang beruntung. Lagi pula berdasarkan data pengaruh pendidikan terhadap pendapatan di Amerika hanya memberi pengaruh 12%, namun demikian argumen Jencks walaupun agak lemah tentang ”persamaan” harus diupayakan atau dibuat ituadalah amat penting.

14. Demonstrasi
Konsep ”demonstrasi” secara umum berarti ‘memperlihatkan, memamerkan, menunjukkan, dan membuktikan’, namun dalam ilmu politik  merupakan tindakan sekelompok orang yang secara bersama-sama untuk menunjukkan dukungan maupun protes kolektif baik itu ketidakpuasan maupun ketidaksetujuan (Shadily, 1980: 785). Dalam wujudnya demontrasi tersebut bisa berupa demonstrasi konstitusional yang tertib dan rapi bahkan enak dipandang mata layaknya  sebagai tontonan (banyak dilakukan di Jepang dan Korea Sealtan). Namun bisa  juga terjadi demontrasi yang anarkhis dengan merusak sarana public maupun memusuhi kelompok-kelompok penentang maupun aparat pemerintah.
Salah satu teori gerakan sosial protes maupun demonstrasi yang terkenal adalah Teori Deprivasi Relatif  dari Ted Robert Gurr dalam bukunya  Why Men Rebel  (1970). Ide dasar teori ini adalah adanya ”penghilangan”, ”perampasan”, yang disertai ketegasan dan keterusterangan dalam penolakannya itu sebagai suatu respons terhadap suatu ketidakadilan yang mereka rasakan. Secara lebih rinci bahwa dalam teori deprivasi relatif ini :
1.      depvrivasi relatif sebagai perubahan harapan dan kemampuan untuk memenuhi harapan itu, maka bentuk deprivasi dapat dibedakan berdasarkan pola-pola perubahan.
a.      Deprivasi persisten yaitu kemampuan yang secara konstan berada dibawah harapan.
b.      Deprivasi aspirasional yaitu harapan naik kemampuan konstan.
c.       Deprivasi dekremental, di mana harapan konstan dan kemampuan turun.
d.      Deprivasi progresif di mana kemampuan naik tetapi masih lebih rendah dibandingkan harapan.
Namun yang paling menentukan dalam munculnya gerakan dan kekerasan politik adalah factor ”ketidakpuasan”.
2.      Ada tiga bentuk faktor yang memperantarai gerakan dan kekerasan politik:
a.      Justifikasi normatif untuk kekerasan
b.      Justifikasi kemanfaatan  untuk kekerasan
c.       Keseimbangan antara sumber-sumber daya koersif  dan institusional dari pemberontak vs negara (Klandersman, 2005).

15. Hak Asasi Manusia
Menurut Rosalyn Higgins, seorang pakar yang tergabung dalam  United Nations Committee on Human Rights, pengertian ”Hak Asasi Manusia” (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki oleh semua orang sesuai kondisi yang manusiawi. Oleh karena itu hak-hak tersebut bukan merupakan pemberian atau anugerah negara yang bisa dicabut melalui peraturan peraturan hukum oleh negara.
Walaupun sistem hukum setiap berbeda-beda, bahwa hak-hak asasi manusia yang menjadi hak bagi setiap orang itu merupakan hak-hak dalam hukum internasional. Sebagai contoh, hak asasi untuk memperoleh pengadilan yang adil, tidak ada bedanya antara mereka yang tinggal di negara yang menganut system hukum  common law, civil law, maupun sistem hukum Romawi. Dalam hal ini negara pada hakikatnya berkewajiban untuk menjamin bahwa setiap system hukum  mereka mencerminkan dan melindungi hak-hak asasi manusia yang bersifat internasional yang berada pada wilayah jurisdiksi mereka (Higgins, 2000).
Perdebatan tentang universalitas tidaknya HAM, memangsudah berlang lama, memang dalam pertumbuhannya HAM tidak lepas dari budaya masyarakat setempat dan tidak isa dipukul-rata seperti yang diinginkan  oleh pengajur HAM radikal Barat. Akan tepai terdapat juga dokumen-dokumen HAM yang diakui secara universal seperti International Convenant on Human Rights 1966  yang didasarkan pada  Universal Declaration of Hman Rights 1948. Hal ini lebih dari 140 negara telah menandatangani dokumen  International Convenant on Civil and Political Parties,  termasuk negara-negara Eropa Timur, negara-negara Timur Tengah (Mesir, Tunisia, Iraq, Iran, dan sebagainya). Kemudian sejak berlakunya dokumen HAM tersebut sejak awal tahun 1990-an, konsep universalitas HAM berkembang secara bertahap.
Setelah runtuhnya tembok Berlin 1899, ada usulan diselenggarakannya Konperensi Dunia tentang HAM dan dilaksanakan di Wina Austria  tahun 1993. Hasilnya Dalam persiapannya negara-negara diminta meratifikasinya. Ternyata di sinilah menimbulkan polemik, di mana Barat terlalu banyak gagasan liberal yang mendominasinya. Akhirnya setelah melalui perdebatan yang ”alot” dicapai kata sepakat bahwa ”keragaman regional hendaknya tidak mengikis, melainkan sedapat mungkin mendukung universalisme HAM (Higins, 2000). HAM tidak sekedar mencakup hak –hak sipil dan politik, tetapi juga hak-hak ekonomi, sosial, budaya, seperti yang tercantum dalam  International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights. Dalam hal ini terjadi kontroversial antara negara  maju dan berkembang. Beberapa negara maju khususnya Barat, skeptic terhadap instrumen implementasinya (misal hak untuk memperoleh pendidikan,perumahan, kesehatan, dan sebagainya). Sementara itu di kalangan negara-negara berkembang sendiri tidak begitu yakin akan mampu memenuhi hak-kah tersebutdalam  jangka pendek, karena prioritas program mereka bukan itu yang utamanya.

16. Voting (Pemungutan Suara)
Istilah ”voting” atau ”pemungutan suara” merujuk kepada suatu instrument untuk mengekspresikan dan mengumpulak pilihan partai atau calon dalam pemilihan. Jika ditinjau dari sejarahnya, kegiatan semacam ini sudah  sangat tua. Banga Yunani kuno, melakukan voting/pemungutan suara dengan menempatkan batu kerikil (psephos) di sebuah jambangan besar yang kemudian memunculkan istilah psephology, atau kajian mengenai bermacam-macam pemilihan umum.
Kemudian menjelang akhir abad ke-19 kebanyakan negarabarat memberikan hak suara kepada sebagian pria dewasa, dan selama dasawarsa awal abad ke-20 hak itu juga diperluas kepada sebagian besar wanita dewasa (Kavanagh, 2000: 1130). Perkembangan terakhir semacam ini dalam sistem pemerintahan demokrasi, telah menjadi trend baru dalam pemilihan-pemilihan kompetitif yang bebas.
Berdasarkan pengalaman historis, bangsa Indonesia dalam melaksanakan pemilihan umum belum pernah menggunakan sistem distrik secara penuh, dalam arti lebih percaya kepada sistem proporsional walaupun kini ada gagasan system yang dikombinasikan dengan sistem proporsional. (Republika, 27/11/98; Chaidar, 1999: 37). Menurut para pengamat politik Indonesia, bahwa  pemimpin partai politik Indonesia yang lebih percaya kepada sistem proporsional tersebut menggambarkan ketidak beranian para fungsionaris partai-partai politik di Indonesia yang tidak berani bertarung secara jantan dan masih bersifat ”banci” (Chaidar, 1999: 37).

Generalisasi-generalisasi Ilmu Politik:
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa secara umum generalisasi merupakan “Generalizations are statements of the relationship of two or more concepts. These statements may range from very simple to very complex. Sometimes they are referred to as principles or laws” (Banks, 1977: 26; 97). Jadi, generalisasi itu merupakan pernyataan hubungan dua konsep atau lebih.Pernyataan tersebut boleh terbentang dari yang sangat sederhana ke yang sangat kompleks. Kadang-kadang mereka dikenal sebagai prinsip-prisip atau hukum.
Dari pernyataan tersebut maka generalisasi-generalisasi dalam Ilmu politik yang sering dikembangkan di tingkat pendidikan menengah berkaitan dengan konsep-konsep yang telah dibahas sebelumnya, seperti di bawah ini
1.      Pemerintahan. Jika pemimpin suatu  negara  menyalah gunakan  kekuasaan  untuk melanggengkannya demi kepentingan pribadi dengan berbagai tindakan yang sewenang-wenang, cepat atau lambat akan datang gerakan masa yang tidak bisa dibendung sebagai respons atas tindakan penyalahgunaan kekuasaan tersebut.
2.      Kedaulatan Rakyat. Meleletusnya Revolusi Prancis 1789, salah satu penyebab yang dominan adalah disebabkan raja-raja Prancis berkuasasecara absolut, dalam arti tiadanya kedaulatan rakyat Prancis yang dijunjung tinggi oleh pemerintah.
3.      Kontrol Sosial. Dalam setiap pemerintahan, institusi masyarakat, maupunpemerintahan, diperlukan suatu kontrol sosial  untuk memudahkan pengawasan jalannya suatu mekanisme perjanjain dan pemerintahan yang telah disepakati.
4.      Negara. Adanya peraturan dan undang-undang dalam kehidupan  bernegara,  pada hakikatnya dimaksudkan untuk menertibkan jalannya roda pemerintahan dengan tertib, aman, dan berkesinambungan.
5.      Pemerintahan. Pemerintahan  yang diktator sering menimbulkan suatu gerakan msyarakat-bangsa untuk melakukan suatu revolusi yang  mengarahkan perlawanan terhadap rejim lama ketika menekan kebebasan dan menentang pembaharuan.
6.      Legitimasi.  Sebetulnya di awal masa jabatannya pemerintahan Gusdur memiliki legitimasi  yang baik untuk melaksanakan agenda reformasi Indonesia, mengingat ia memperoleh dukungan mayoritas dari berbagai elite dan  partai politik yang mendukungnya. Hanya saja karena ia sering “nyleneh”  dan “keras kepala” dengan seringnya melontarkan isu-isu yang kurang perlu, bongkar-pasang kabinet, mondar-mandir ke luar negeri, bahkan tersandung dalam  Bulog-Gate,  popularitas pemerintahannya menjadi pudar bahkan berakhir secara tragis.
7.      Oposisi.  Tidak semua partai  oposisi  itu jelek, karena oposisi juga bisa menjadi penyeimbang dan kontrol atas mekanisme pemerintahan yang ada. Sebaliknya, juga tidak semua partai  oposisi  baik, karena tidak sedikit partai  oposisi  terlahir hanya didasarkan pertimbangan emosional atas kekalahannya  dalam pemilihan umum yang telah lalu.
8.      Sistem Politik.  Bagi pemerintahan yang menganut  sistem politik  yang komunis maupun otoritarian, maka jelas kebebasan rakyat itu terkekang. Hal ini akan berbeda dengan di negara-negara yang menganut sistem politik liberal seperti di negaranegara Barat, kebebadas itu sangat luas, termasuk kebebasanseksual di mana bagi kita hal itu perlu diatur dalam perundang-undangan.
9.      Demokrasi. Tidak semua pemerintahan yang  demokrasi  itu memiliki karakteristik universal, karena nilai-nilai budaya suatu negara-bangsa akan turut mewarnai budaya politiknya.Dengan demikian pemahaman mengenai pemerintahan yang demokrasi sarat dengan pengaruh nilai-nilai internal suatu negara-bangsa.
10.  Pemilihan Umum. Pemilihan Umum merupakan salah satu indikator pemerintahan yang demokrasi. Sebab melalui sarana pemilihan umum, aspirasi rakyat ataupun kontituen dapat dikomodir dengan sistem pemilihan umum yang baik.
11.  Partai Politik.  Jika suatu pemerintahan mengaku dirinya  demokrasi,  sementara partai politik  dilarang berdiri, hal itu dapat dimetaforakan sebagai seekor harimau yang “dikebiri”. Ia tidak dapat menikmati kehidupan yang bebas dan melakukan reproduksi, berati sama halnya dengan tidak dapat menumbuh-kembangkan kehidupan demokrasi yang sejati yang menghargai hak-hak asasi setiap pribadi.
12.  Desentralisasi. Desentralisasi menjadi keniscayaan dalam pemerintahan Indonesia masa kini, tanpa mengurangi makna sebagai negara kesatuan. Sebab tanpa desentralisasi, berarti tidak ada otonomi bagi daerah, segala sesuatunya masih bersifat sentralistik, di mana kesenjangan antara pusat dan daerah akan menjadi semakin timpang.
13.  Demonstrasi.  Gerakan  demontrasi  mahasisiwa Indonesia, tidak pernah absen dalam perjuangan bangsa. Dalam gerakan  demontrasi  anti pemerintahan Orde Lama, KAMI merupakan motor utama dalam kegiatan-kegiatan Angkatan 66 dan memainkan peranan pokok dalam arena politik berikutnya. Begitujuga dalam mengakhiri rezim Orde Baru yang otoritarian, beberapa tokoh reformis  dan mahasiswa Indonesia berhasil menurunkan Jenderal Suharto dari jabatan kepresidenannya melalui demonstrasi yang besar-besaran.
14.  Persamaan.  Dalam suatu tatanan pemerintahan demokrasi,  persamaan merupakan ide fundamental dalam azas kehidupan berbansa dan bernegara, walaupun selalu ada hirarki-hirarki itu yang membedakannya antar individu. Lagi pula selalu ada untuk mengimbangi bentuk-bentuk hirarki itu. Untuk mengimbangi hirarki kekayaan, ada pajak progresif. Untuk mengimbangi hirarki status sosial dalam jabatan formal, ada masa pensiun. Namun tetap saja dibalik  persamaan  tersebut memiliki beberapa ketidaksamaan secara relatif.
15.  Hak Asasi Manusia.  HAM tidak sekedar mencakup hak–hak sipil dan politik, tetapi juga hak-hak ekonomi, sosial, budaya, sepertiyang tercantum dalam International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights.
16.  Voting.  Pada umumnya sekarang ini sistem pemungutan suara (voting) diberikan haknya kepada kaum laki-laki dan perempuan dewasa baik itu dalam sistem pemilihan distrik maupun proporsional.

Teori-teori dalam Ilmu Politik
1. Teori Politik Kekuasaan Niccolo Machiavelli
Sebagaimana telah dicatat sebelumnya, teori politik kekuasaan Niccolo Machiavelli dapat dilihat sebagai penanda transisi dari dunia kuno ke modern yang sangat kontroversi. Melalui karyanya yang berjudul  The Prince  tahun 1513, ia sering dituduh “gurunya kejahatan” karena nasihat-nasihatnya yang  amoral seandainya bukan immoral. Meskipun karya-karyanya akhir-akhir ini diinterpretasikan agak bersimpati, di belakang daya tarik ‘buah terlarang yang lezat’  bagaimanapun para ahli telah menemukan kontribusi-kontribusi signifikan lain dalam  karya Machiavelli tersebut. Dengan menawarkan sebuah analisis empiris yang rasional tentang negara dan politik modern, tulisan-tulisannya meskipun muncul dalam bentuk ujaran-ujaran praktis, dipandang sebagai sebuah kunci pembuka dari ilmu politik kontemporer.
Machiavelli dilahirkan pada tahun 1469 di kota Florence (Italia Sekarang). Ia menghabiskan karir masa mudanya sebagai seorang diplomat dan administrator di kota Florence, meskipun ia tidak pernah menjadi duta  besar, ia menjalankan misi diplomatik dan menjadi cukup ahli dalam urusan-urusan militer.
Ketika Republik Florentine jatuh digantikan oleh keluarga Medici pada tahun 1512, Machiaveli dipaksa keluar dari posisinya dan mulai menjalani studi seumur hidup dalam bidang sejarah dan politik. Dalam pikiran-pikirannya Machivelli percaya bahwa rezim-rezim masuk ke dalam dua tipe, yaitu kepangeranan atau  principality dan republik. Dalam buku The Prince, ia memberikan nasihat tentang bagaimana mendapatkan dan mempertahankan sebuah kepangeranan. Adapun isi dari teori Machiavelli (Skinner, 1988: 4) tersebut:
a.       Untuk melakukannya seorang penguasa yang bijak hendaknya mengikuti jalur yang dikedepankan berdasarkan kebutuhan, kejayaan dan kebaikan negara. Hanya dengan memadukan machismo semangat keprajuritan,dan pertimbangan politik, seseorang penguasa barulah dapat memenuhi kewajibannya kepada negara dan mencapai kebadian sejarah.
b.      Penguasa bijak hendaknya memiliki hal-hal:
1.      Sebuah kemampuan untuk menjadi baik sekaligus buruk, baik dicintai
maupun ditakuti.
2.      Watak-watak seperti ketegasan, kekejaman, kemandirian, disiplin, dan kontrol diri; tasi menyangkut kemurahan hati, pengampunan, dapat dipercaya, dan tulus.
3.      Seorang pangeran harus berani untuk melakukan apapun yang diperlukan, betapapun tampak tercela karena rakyat pada akhirnya hanya peduli dengan hasilnya yaitu dengan kebaikan negara.

2. Teori Negara yang Berdaulat Jean Bodin
Jean Bodin hidup tahun 1530-1596, lahir di Anjou-Prancis dari keluarga kelas menengah yang kaya. Pemikiran politik Bodin dibangun di bawah tekanan pengalaman pribadinya. Ia hidup pada masa ketika pertentangan agama yang sudah lama dan mencapai puncak ketika terjadi pembunuhan St. Barthomew tahun 1572 yang mengakibatkan Prancis berada diambang kehancuran. Untuk itulah ia bergabung dalam kelompok kecil pengacara dalam  Politiques  yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh ternama seperti Michel de L’Hopital dan Duke of Alencon.Ia merasa sangat prihatin dengan perpecahan itu, sehingga ia menulis  Six Books of Commonwealth. Sepuluh edisi karya ini dalam versi Bahasa Perancis dan tiga dalam Bahasa Latin. Inti teorinya bahwa:
a.       Watak dan tujuan negara adalah merupakan hal pentingdiketahui sebelum beralih pada cara mencapai tujuan negara. “Orang yang tidak memehami tujuan, dan tidak bisa menentukan masalahnya dengan benar, tidak bisa berharap akan menemukan cara-cara untuk meraihnya, sebagaimana orang yang melepaskan ke udara dengan cara serampangan tidak akan mengenai sasaran” (Bodin, 1957).
b.      Negara sebagai “pemerintahan yang tertata dengan baik dari beberapa keluarga serta kepentingan bersama mereka oleh kekuasaan yang berdaulat”. Trdapat empat unsur dalam Negara:
1.      tatanan yang benar
2.      keluarga
3.      kekuasaan yang berdaulat
4.      tujuan bersama.
c.       Keluarga merupakan unit dasar bagi negara serta bukan individu. Kelurga yang harmonis citra sejati dari commonwealth. Sebagaimana dalam keluarga di mana tunduk pada perintah ayah adalah penting bagi kesejahteraan keluarga, demikian juga patuh pada penguasa adalah penting bagi stabilitas negara.
d.      Ayah yang mempunyai kekuasaan penuh dalam keluarga, maka dalam penguasa commonwealth harus mempunyai yurisdiksi penuh terhadapwarga negaranya. Karena berkeluarga itu seperti bernegara; hanya bisa satu penguasa, satu pemimpin, satu tuan. Jika beberapa orang mempunyai otoritas, mereka akan merusak tatanan dan menimbulkan bencana yang terus berlanjut.
e.       Elemen yang membedakan negara dari semua bentuk asosiasi manusia lainnya adalah kedaulatan.Tidak bisa ada commonwealth yangsejati tanpa kekuasaan yang berdaulat menyatukan semua anggota-anggotanya. Suatu otoritas yang mutlak dan tertinggi yang tidak tunduk pada kekuasaan manusia lainnya harus ada dalam lembaga politik.


3. Teori Kekuasaan Negara yang Terbatas John Locke
John Locke (1632-1704) dilahirkan di Wrington-Somerset. Orang tuanya adalah penganut Puritan, di mana ayahnya adalah seorang tuan tanah dan pengacara yang berperang di parlemen wada waktu perang sipil. Karya utamanya adalah Two Treatises of Government, sebuah karya yang sering kali disebut sebagai “Bibel Liberalisme Modern” (Schmandt, 2002).
Inti ajaran Locke pada hakikatnya adalah:
a.       Manusia hidup pada awalnya adalah dalam “kondisi alamiah” (state of nature), adalah kondisi hidup bersama di bawah bimbingan akaltanpa ada kekuasaan tertinggi di atas umi yang menghakimi mereka berada dalam keadaan alamiah. Dalam masyarakat pra-politik ini orang bebas, sederajat, dan merdeka.
b.      Setiap orang mempunyai kemerdekaan alamiah, untuk bebasdari setiap kekuasaan superior di atas bumi, dan tidak berada di bawah kehendak atau otoritas legislative manusia.
c.       Meskipun keadaan alamiah adalah keadaan kemerdekaan,ia bukan keadaan kebebasan penuh. Ia juga bukan masyarakat yang tidakberadab, tetapi masyarakat anarki yang beradab dan rasional. Ia tidak mempunyai  kemerdekaan untuk menghancurkan dirinya atau apa yang menjadi miliknya.
d.      Untuk menanggulangi kelemahan dalam ‘hukum alam’, terdapat kebutuhan hukum yang mapan yang diketahui, diterima, dan disetujui oleh kesepakatan bersama untuk menjadi standar benar dan salah
e.       Individu tidak menyerahkan kepada komunitas tersebut  hak-hak alamiahnya yang substansial, tetapi hanya hak-hak untuk melaksanakanhukum alam.
f.       Hak yang diserahkan oleh individu tidak diberikan kepada orang atau kelompok tertentu, tetapi kepada seluruh komunitas.
g.      Kontrak adalah perjanjian untuk membentuk suatu masyarakat politik. Ketika masyarakat itu telah terbentuk, kemudian harus membentuk pemerintahan yang dilanjutkan dengan membentuk lembaga-lembaga yang terpercaya untuk mencapai tujuan pemerintahan tersebut.
h.      Masyarakat politik adalah pembuat sekaligus pewariskeputusan tersebut. Sebagai pembuat ia menetapkan batas-batas kekuasaan; sedangkan sebagai pewaris ia adalah penerima manfaat yang berasal dari pelaksanaankekuasaan tersebut.

4. Teori Pemisahan Kekuasaan Baron de Montesquieu
Baron de Montesquie (1689-1755) yang populer diskenal Montesquieu, dilahirkan dari keluarga kaya raya kelas ningrat (petite noblese), di Paris Perancis. Karyanya yang terkenal adalah  De l’esprit des lois atau Spirit of the Laws (Jiwa Peundang-undangan) pada tahun 1748. Montesquieu lebih dikenal sebagai “Bapak Teori Pemisahan Kekuasaan”, kendatipun tidak sedikit gagasan-gasan beliau juga membahas tentang hubungan antara hukum dan institusi politik yang perlu disesuaikan dengan lingkungan (sejarah, geografi khususnya iklim dimanaorang itu tinggal. Secara keseluruhan teori Montesquieu ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Hukum dan institusi politik harus disesuaikan dengan lingkungan sejarah, geografi, dan iklim di mana orang tinggal. Tidak ada aturan yang pasti dan tidak ada bentuk pemerintahan yang berlaku bagi semua masyarakat (relativisme).
b.      Bentuk pemerintahan yang paling tepat adalah pemerintahan yang paling sesuai dengan karakter orang-orang yang mendiami wilayah itu.
c.       Dalam klasifikasi pemerintah, terdapat tiga jenis pemerintahan, yakni:
1.      Republik
2.      Monarki
3.      Despotik.
Republik bisa berupa demokrasi, ketika kedaulatan diserahkan kepada semua lembaga kerakyatan, atau aristokrasi, ketika kekuasaan tertinggi hanya diserahkan sebagian anggota masyarakat. Monarkhi adalah pemerintahan konstitusional oleh satu orang, sedangkan despotism adalah kekuasaan yang sewenang-wenang oleh satu orang di mana tidak mentolerir intervensi keberadaan aristokrasi atau beberapa kekuasaan perantara yang berdiri di antara penguasa dan rakyat dan bertindak sebagai penengah.
d.      Untuk menghindari ketegangan politik dan perang, makahukum dibutuhkan, baik itu hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan antar  bangsa/Negara merdeka, hukum sipil yang mengatur hubungan antar individu-individu, dan hukum politik yang mengatur dan menentukan hubungan antara penguasa dengan rakyat.
e.       Negara yang cocok untuk memaksimalkan kebebasan dan menyeimbangkan persamaan, adalah negara di mana kekuasaan  legislatif, eksekutif,  dan  yudikatif pemerintah dipisahkan sendiri-sendiri sehingga hukum sipil dapat dibuat menurut kebutuhan semua bagian masyarakat (Apter, 1996).

5. Teori Hak Pemilikan Legal Robert Nozick
Sebagaimana kaum libertarian membela pasar bebas, mereka mentang penggunaan kekuasaan negara bagi kebijaksanaan sosial, termasuk pola-pola perpajakan redistributif dalam menerapkan teori persamaan liberal. Akan tetapi tidak semua orang yang mendukung pasar bebas dapat digolongkan sebagai seorang libertarian, karena tidak semua dari mereka menerima pandangan kaum  libertarian bahwa pasar bebas secara inheren adil yang membela kaum kapitalisme tanpa batas (unsrestricted capitalim) adalah produktivitasnya (Kimlicka, 2004: 127). Seperti yang dikatakan Nozick (1974: ix) ”individu memiliki memiliki hak dan terdapat hal-hal yang tidak seorangpun atau sebuah kelompok-pun boleh mencampurinya (tanpa melanggar hak itu). Sedemikian kuat dan luas jangkauan hak-hak ini. Karena orang memiliki hak untuk menghabiskan sekalipun untuk kepemilikannya menurut apa yang dianggap sesuai. Sedangkan campur-tangan pemerintah sama denganpemaksaan kerja yang merupakan sebuah pelanggaran, bukan atas efisiensi, tetapi atas hak-hak moral dasar kita. Dengan demikian klaim pokok Nozick dapat dikemukakan ”jika kita memiliki menganggap bahwa semua orang memiliki hak legal (entiled) atas barang-barang yang sekarang dimilikinya, maka distribusi yang adil secara sederhana adalah distribusi yang dihasilkan dari pertukaran bebas (free exchanges) di antara orang-orang. Semua distribusi yang timbul oleh pemerintah secara bebas  (free transfers) dari sebuah situasi yang adil dengan sendirinya adalah adil. Namun jika pemerintah berusaha memajaki pertukaran tersebut dengan melawan kemauan orang itu, itu berarti tidak adil, bahkan seandainya pajak tetap dipergunakan untuk memberikan konpensasi bagi seseorang yang harus menanggung biaya ekstra karenarintangan alamiah yang tidak semestinya. Dengan demikian satu-satunya perpajakan yang sah adalah mengumpulkan penghasilan demi memelihara latar belakang  institusi-institusi yang diperlukan untuk melindungi sistem pertukaran bebas misalnya polisibeserta jajaran penegak hukum lainnya dalam menegakkan pertukaran bebas.
Nozick mengklaim bahwa dengan meningkatnya kekayaan sosial akan terjadi proefisiensi secara maksimal.. Secara lebih rinci ,menurut Nozick dalam karyanya yang berejudul  Anarchy, State, and Utopia  (1974) terdapat tiga prinsip utama dalam entitlement theory (teori hak pemilikan legal) sebagai berikut:
a.       Prinsip transfer (principle of transfer) apa-pun yang diperoleh secara adil dapat ditransfer secara bebas.
b.      Prinsip perolehan awal yang adil (principle of just initial acquisition)  penilaian tentang bagaimana orang pada awalnya sampai memiliki sesuatu yang dapat dittransfer menurut prinsip pertama.
c.       Prinsip pembetulan ketidakadilan (principle of rectification of injustice)  bagaimana berhubungan dengan pemilikan (holdings) jika hal ini diperoleh atau ditransfer melalui cara yang tidak adil.
Dengan demikian secara bersama ketiga prinsip tersebut mengimplikasikan bahwa jika apa yang sekarang ada pada orang diperoleh dengan cara yang adil, maka rumus distribusi yang adil adalah ”setiap orang memberikan sesuai dengan pilihannya, dan setiap orang menerima sesuai dengan apa yang dipilihnya atau  from each as they choose, to each as they are chose (Nozick, 1974: 160).

 

Masa Orde Baru berbanding dengan Masa Reformasi

 07 March 2013 | 08:34
Hampir lebih dari 15 tahun bangsa indonesia meninggalkan era orde baru dan lepas landas ke era reformasi. Sebuah era atau masa yang dipercaya pada waktu itu akan memberikan pengaruh yang baik dan besar bagi bangsa Indonesia yang saat itu sedang dihinggapi masalah krisis ekonomi yang sistemik. Sebuah sistem yang diyakini akan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri untuk memilih pemimpin yang diharapkan rakyat. Sebuah masa yang dengan sistem refomasi memberikan kedaulatan penuh kepada rakyat untuk memajukan bangsa ini. Reformasi juga merupakan bentuk perombakan suatu tatanan sistem kenegaraan yang menggulingkan kekuasaan atau rezim orde baru pada waktu itu karena rakyat sudah tidak lagi percaya kepada pemerintahan yang merupakan mandataris dari MPR pada waktu itu. Reformasi juga membawa bangsa Indonesia ini ke tataran sistem demokrasi dimana rakyat dapat melakukan pemilihan langsung untuk memilih pemimpin seperti saat ini yang kita rasakan bersama. Reformasi juga membuka kran informasi bagi media untuk dapat memberitakan pemberitaan baik yang berisi tentang keberhasilan pemerintah dan juga pemberitaan untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah. Reformasi juga, membawa bangsa indonesia ke arah kehidupan politik yang terbuka dalam arti siapa saja bisa menjadi politisi dan berserikat yang haknya dilindungi oleh konstitusi.
Namun jika dibandingkan dengan hari ini, 15 tahun semenjak reformasi dicanangkan dan demokrasi dipilih menjadi sebuah sistem yang paling ideal, muncul sebuah pertanyaan apakah reformasi 15 tahun yang lalu sudah memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat luas dan bangsa Indonesia ini secara umum?
Di era reformasi ini masyarakat seolah semakin turun kepercayaannya terhadap dunia politik yang terbukti dari turunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap pemilihan kepala daerah. Masyarakat juga mungkin akan lebih mempertimbangkan bagaimana cara untuk mempertahankan hidup di era reformasi ini dibanding harus berpikir secara kebangsaan, dimana jurang kesenjangan semakin melebar karena birokrasi lebih berpihak kepada mereka yang bergelar kaum ekonomi menengah ke atas. Di era reformasi yang katanya bahwa masyarakat dilindungi oleh hukum juga tidak jarang masyarakat dibuat takut oleh para penegak hukum dengan dalih bahwa hukum harus ditegakkan. Padahal dalih tersebut lebih sering dijadikan arena “proyek” mencari uang oleh para mereka yang berwenang. Sehingga opini yang terbangun adalah hukum itu terlalu tajam ke bawah namun tumpul keatas.
Dulu, di akhir era orde baru kita seakan dibuat benci oleh presiden Soeharto yang telah lama menjadi penguasa dan banyak membangun bangsa ini dengan anggapan banyak melakukan praktek Korupsi, Kolusi, dan Nekotisme yang dilakukan pemerintah Orde Baru pada saat itu, sehingga masyarakat menjadi anarkis dan dibuat kisruh pada waktu itu. Bahkan, disebut – sebut Soeharto melakukan korupsi besar – besaran yang sampai saat ini juga sebenarnya tidak jelas lagi kejelasan dari dugaan kasus tersebut.
Sekarang, jika kita bandingkan dengan masa reformasi mungkin banyak lebih baiknya, tapi juga banyak lebih buruknya. Lebih baiknya adalah bahwa hari ini, rakyat tidak lagi dibayang – bayangi teror pemerintah otoriter. Pemerintah saat ini cenderung lebih memperhatikan kestabilan politiknya karena media mengawasi kinerja pemerintahan dengan cukup gencar meski saat ini media juga cenderung memberitakan hal yang buruk – buruknya saja sehingga membangun opini masyarakat rakyat bahwa Indonesia saat ini mengalami degradasi moral dan kepemimpinan karena banyak elit pemerintahan yang melakukan korupsi dan lain sebagainya, padahal saya yakin tidak semua elit pemerintah seperti itu. Dapat dikayakan bahwa pada era orde baru dan era reformasi ini banyak pejabat yang melakukan korupsi, tapi bedanya korupsi era orde baru dan era reformasi saat ini adalah pos – pos yang dikorup. Anies Baswedan pernah mengatakan bahwa perbedaan korupsi pada masa orde baru dan masa reformasi adalah jika pada pemerintahan orde baru pos yang dikorupsi adalah dana – dana non budgeter atau diluar dari APBN bangsa ini, sedangkan pada masa reformasi saat ini, pos yang dikorupsi adalah dana – dana APBN yang mengalir kepada elit – elit tertentu yang tentunya sangat menguntungkan elit tersebut. Jika kita bandingkan kasus – kasus yang ada saat ini, sudah berapa rupiah kerugian negara yang memang sudah terbukti di persidangan hari ini? berapa rupiah kerugian negara tentang kasus century? Berapa kerugian negara tentang kasus simulator SIM? Dan kasus – kasus korupsi yang lainnya. Ironisnya lagi, jika kita anggap sejenak kalau dana – dana yang dikorupsi tersebut adalah upah bagi mereka yang membangun bangsa ini, apakah bangsa ini sudah makin maju dari 15 tahun yang lalu? Masa orde baru ketika dana – dana non budgeter yang dikorupsi tapi implikasi bagi bangsa ini sangat signifikan juga, meskipun hal tersebut merupakan muka dua dari pemerintahan orde baru tapi paling tidak kesejahteraan dan pembangunan Indonesia waktu itu lebih baik dari pada sekarang.













BAB III
PENUTUP


A.    KESIMPULAN

Negara mencakup semua penduduk, sedangkan pemerintah hanya mencakup sebagian kecil daripadanya. Pemerintah sering berubah, sedangkan negara terus bertahan (kecuali kalau dicaplok oleh negara lain). Beberapa kecenderungan dalam pemerintah yang berdaulat pada masyarakat maju sekarang ini, paling tidak memiliki tiga perangkat dinas yang terpisah Begitu juga dalam kajian tentang pemerintah kini mengalami perubahan terutama sejak Perang Dunia II. Kalau saja pada mulanya yang difokuskan adalah aspek-aspek formal termasuk konstitusinya pada setiap Negara secara terpisah.Akan tetapi sejalan dengan pengaruh behavioralisme, kini fokusnya bergeser ke bagaimana sebuah pemerintah beroperasi, baik lembaga-lembaga formal maupun non-formalnya termasuk partai-partai politik, kelompok kepentingan dalam suatu kerangka komparatif.

Di era reformasi ini masyarakat seolah semakin turun kepercayaannya terhadap dunia politik yang terbukti dari turunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap pemilihan kepala daerah. Masyarakat juga mungkin akan lebih mempertimbangkan bagaimana cara untuk mempertahankan hidup di era reformasi ini dibanding harus berpikir secara kebangsaan, dimana jurang kesenjangan semakin melebar karena birokrasi lebih berpihak kepada mereka yang bergelar kaum ekonomi menengah ke atas.

Semoga Indonesia masa depan tercipta masa – masa yang beririsan antara maas orde baru dan juga reformasi dimana Indonesia bisa lebih sejahtera melebihi tingkat pada waktu orde baru, Indonesia bisa lebih menghargai keterbukaan publik dan sistem demokrasi seperti saat ini, Indonesia dapat kembali bangkit dari keterpurukan sistem yang korup dan dari krisis kepemimpinan. Semoga negarawan – negarawan muda yang terbarukan di masa depan dapat menggenggam masa depan Indonesia menuju Indonesia yang “Welfare State”.
















Daftar pustaka



Tidak ada komentar:

Posting Komentar