BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari terdapat aspek politik yang terus mengalami perkembangan dalam
pembangunan jangka panjang, sektor ekonomi masih tetap mendapat prioritas
utama. Sedangkan aspek politik yang menyangkut pemerintahan dan kenegaraan,
stabilitas tidak dapat diabaikan.
Untuk memenuhi tuntutan tersebut, perkembangan
dan pengembangannya harus tetap diupayakan. Stabilitas tersebut, bukan berarti statis melainkan dinamik
mengikuti perubahan serta perkembangan internal maupun eksternal global.
Oleh
karena itu, dalam makalah ini
kami akan membahas tentang Konsep-konsep
Politik.
B Tujuan
Untuk
memberikan informasi tentang Konsep-konsep Politik.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep-konsep
politik
Untuk melakukan efisiensi dan efektivitas bagi
manusia. Hal ini bisa kita fahami karena informasi-informasi itu kian terus
bertambah banyak dan semuanya harus diidentifikasi dalam simbol-simbol yang
dapat disepakati. Caranya adalah dengan dengan merumuskannya dalam
konsep-konsep yang mereduksi informasi-informasi
tersebut menurut proporsi-proporsi yang dapat ditangani (Sjamsuddin, 1996: 15). Adapun konsep-konsep yang dimaksud, seperti berikut :
1.
Kekuasaan
2.
Kedaulatan
3.
Kontrol sosial
4.
Negara
5.
Pemerintah
6.
Legitimasi
7.
Oposisi
8.
Sistem politik
9.
Demokrasi
10. Pemilihan umum
11. Partai politik
12. Desentralisasi
13. Persamaan
14. Demonstrasi
15. Hak asasi manusia
16. Voting
1.Kekuasaan
Kekuasaan adalah konsep politik yang paling banyak
dibahas. Hal ini tidak mengherankan sebab konsep ini sangat krusial dalam ilmu
sosial pada umumnya, dan dalam ilmu politik khususnya. Malah pada suatu ketika
politik di anggap identik dengan kekuasaan. Pengertian kekuasaan sendiri adalah
kemampuan seseorang
atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau
kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan
keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu (Budiardjo, 2000: 35).
a.
Kekuasaan manifes (manifest power)
Biasanya kekuasaan diselenggarakan (exercise of power) melalui isyarat yang jelas.
Contohnya : seorang polisi yang menghentikan pengendara
motor karena melanggar peraturan lalu lintas.
b.
Kekuasaan implisit
( implicit power)
Perilaku B ditentukan oleh reaksi yang diantisipasikan
jika keinginan A tidak dilakukan oleh B.
Contohnya : seorang anak sekolah yang membatalkan rencana
untuk main bola dan memutuskan untuk membuat pekerjaan rumahnya, karena takut
akan dimarahi ayahnya.
2. Kedaulatan
Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat
undang-undang dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang
teredia. Konsep ”kedaulatan” mengacu dapat
dibedakan menjadi dua telaahan dilihat dari Hukum Tata Negara; konsep kedaulatan mengacu
kepada kekuasaan pemerintah negara yang tertinggi dan mutlak. Kedua; dilihat dari Hukum Internasional mengacu kepada kemerdekaan suatu negara
terhadap negara-negara lain (Shadily,
1984: 1711).
Kemudian
jika ditinjau dari jenis ataupun bentuknya,ragam kedaulatan itu dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu :
1. Kedaulatan hukum.
Dalam Hukum Tata Negara menyatakan bahwa hukum itu berdaulat; kedaulatan ini
terlepas dari kedaulatan
kekuasaan negara. Negara harus tunduk juga pada kedaulatan hukum, walaupun
tidak cocok dengan kehendak negara. Dengan demikian teori ini melandaskan
pada kesadaran hukum masyarakat. Adapun tokohnya ajaran kedaulatan hukum
tersebut adalah seorang ahli hukum Belanda, yakni Hugo Krabe.
2. Kedaulatan Negara.
Dalam Hukum Tata Negara menyatakan bahwa azas kedaulatan mutlak terletak pada
penguasa negara. Menurut teori kedaulatan negara ini bahwa ”kehendak negara merupakan sumber hukum utama”.
Kehendak negara tersebut termuat dalam perundang-undangan dan hukum kebiasaan
yang diakui dengan undang-undang. Beberapa tokoh ajaran ini adalah Kelsen, Laband, Jhering dan Jellinek.
3. Kedaulatan rakyat.
Dalam hal ini bahwa kedaulatan harus berada pada tangan rakyat. Implikasinya
dari bentuk kedaulatan tersebut bahwa kekuasaan untuk membuat undang-undang
harus dilakukan oleh rakyat dengan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai
sumber hukum utama adalah Undang-undang. Dengan demikian yangberdaulat adalah kehendak
rakyat atau kehendak umum (volonte generale).
Adapun tokoh ajaran kedaulatan rakyat tersebut adalah J.J. Rousseau.
3. Kontrol Sosial
Kontrol sosial adalah pengaturan
tingkah laku manusia oleh kekuatan sosial yang dilakukan di luar pemerintahan untuk memelihara menurut hukum dan aturan itu
yang muncul di dalam tiap-tiap masyarakat dan institusi. Dengan demikian
kontrak sosial merupakan doktrin bahwa pemerintahan itu didirikan untuk dan
oleh rakyat melandasi semua negara yang menyatakan dirinya demokratis. Adanya
control social tentunya diharapkan dapat berfungsi sebagai pedoman sekaligus
sebagai pengawas berbagai perilaku anggotanya didalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari
sejarahnya, kontrak sosial itu diperjuangkan sejak zaman Thomas Hobbes, John Locke, maupun J.J. Rousseau.
4. Negara
Negara adalah integrasi dari
kekuasaan politik, ia adalah
organisasi pokok dalam kekuasaan politik. Namun, negara juga merupakan alat (agency) dari
masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia
dalam masyarakat menertibkan fenomena kekuasaan dalam masyarakat. Jadi negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah
dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan
lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu.
Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan dapat
digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan atau asosiasi,
maupun oleh negara sendiri. Dengan demikian negara dapat mengintegrasikan dan
membimbing kegiatan-kagiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama.
Dalam rangka ini, negara mempunyai 2 tugas, yaitu :
a.
Mengendalikan dan
mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu
sama lain, supaya tidak menjadi antagonis yang membahayakan.
b.
Mengorganisir dan
mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya
tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana
kegiatan-kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain
dan diarahkan kepada tujuan nasional.
Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan
dengan perantaraan pemerintah beserta segala alat perlengkapannya. Kekuasaan
negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan teratur, maka dari itu dapat
menempatkan diri dalam rangka ini.
5. Pemerintah
Mengikuti
rumusan Finer (1974), istilah pemerintah bisa
kita bagi dalam 4 pengertian, yaitu:
1. pemerintah
mengacu kepada proses memerintah, yakni pelaksanaan kekuasaan oleh yang
berwenang.
2. Istilah ini bisa juga
dipakai untuk meyebut keberadaan proses itu sendiri, kepada kondisi adanya tata aturan.
3. Pemerintah capkali
berarti orang-orang yang mengisi
kedudukan otoritas dalam masyarakat atau lembaga, artinya kantor atau
jabatan-jabatan dalam pemerintahan.
4. Istilah ini bisa juga
mengacu kepada bentuk, metode, atau sistem pemerintahan dalam suatu masyarakat,
yakni struktur dan pengelolaan dinas pemerintahan dan hubungan antara yang
memerintah dan yang diperintah.
Negara mencakup semua penduduk, sedangkan pemerintah
hanya mencakup sebagian kecil daripadanya. Pemerintah sering berubah, sedangkan
negara terus bertahan (kecuali kalau dicaplok oleh negara lain). Beberapa
kecenderungan dalam pemerintah yang berdaulat pada masyarakat maju sekarang
ini, paling tidak memiliki tiga perangkat dinas yang terpisah; yakni:
1.
peran
legislatif untuk
membuat peraturan-peraturan.
2.
peran
eksekutif yang
kadang-kadang dicampuradukkan
dengan pemerintah, bertanggung jawab menjalankan hukum itu dan dalam masyarakat
politik yang sudah
maju memainkan peran dominan dalam usulan-usulan peraturan baru.
3.
peran
yudikatif yang bertanggungjawab untuk menafsirkan
hukum dan menerapkannya dalam masing-masing kasus.
Begitu
juga dalam kajian tentang pemerintah kini mengalami perubahan terutama sejak
Perang Dunia II. Kalau saja pada
mulanya yang difokuskan adalah aspek-aspek formal termasuk konstitusinya pada
setiap negara secara terpisah. Akan tetapi sejalan dengan pengaruh
behavioralisme, kini
fokusnya bergeser ke bagaimana sebuah pemerintah beroperasi, baik
lembaga-lembaga formal maupun non-formalnya termasuk partai-partai politik,
kelompokkepentingan dalam suatu kerangka komparatif (Curtice, 2000: 419).
6. Legitimasi (legitimacy atau keabsahan)
Konsep legitimasi ini merupakan yang terutama penting di
suatu sistem politik dalam sistem kekuasaan, mengingat
dengan legitimasi yang diperolehnya tersebut dapat memudahkan ataupun
melancarkan suatu pengaruh kekuasaan yang dimiliki seseorang ataupun kelompok.
Namun demikian legitimasi tidak menjamin akan dapat memuaskan para anggotanya
yang terusmenerustanpa batas terhadap kepemimpinannya itu. Hal ini terjadi jika
sang pemimpin atau pemegang kekuasaan itu nampak mengingkari tidak memenuhi
tuntutan yang dipimpinnya (Johnson, 1986: 91).
. Legistimasi adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat
bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok, atau penguasa andalah wajar
dan patut dihormati. Kewajaran ini berdasarkan presepsi bahwa pelaksanaan
wewenang itu sesuai dengan asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara
luas dalam masyarakat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prosedur yang
sah. Jadi, mereka yang diperintah menganggap bahwa sudah wajar
peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh peguasa
dipatuhi.
Jika dalam suatu sistem politik terdapat konsesus
mengenai dasar-dasar dan tujuan-tujuan masyarakat, keabsahan yang dipakai oleh
setiap rezim dapat ditetapkan sampai minimum. Maka dari itu pimpinan dari suatu
sistem politik akan selalu mencoba membangun dan mempertahankan keabsahan di
kalangan rakyat karena hal itu merupakan dukungan yang paling mantab.
Konsep
”legitimasi” menunjuk kepada keterangan yang mengesahkan atau membenarkan bahwa
pemegang kekuasaan maupun pemerintah
adalah benarbenar orang yang dimaksud (yang secara hukum adalah sah).
Legitimasi memegang peranan penting dalam sistem kekuasaan, mengingat dengan
legitimasi yang diperolehnya tersebut dapat memudahkan ataupun melancarkan
suatu pengaruh kekuasaan yang dimiliki seseorang ataupun kelompok. Namun
demikian legitimasi tidak menjamin akan dapat memuaskan para anggotanya yang
terusmenerustanpa batas terhadap kepemimpinannya itu. Hal ini terjadi jika sang
pemimpin atau pemegang kekuasaan itu nampak mengingkari tidak memenuhi tuntutan
yang dipimpinnya (Johnson, 1986: 91).
Pemikiran
tentang ”legitimasi” merupakan sebuah penemuan dalam pemikiran modern, yang
terwakili dengan baik pada janji Rousseau dalam
Social Contract, yang memperlihatkan bagaimana sebuah otoritas politik
dapat disebut ”absah”, yang juga diperdalam oleh Max Weber, seorang ahli
teoretis modern.
7. Oposisi
Konsep
”opsisi” merujuk kepada kelompok/partai penentang terhadap pemerintah resmi
yang mengkritik pendapat maupun kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa. Oposisi tersebut memiliki
peranan yang penting dalam pemerintahan
demokrasi, terutama jika berperan sebagai oposisi yang sehat, merupakan
penyeimbang maupun kontrol atas kebijaksanaan pemerintah yang bisa saja terjadi
penyimpangan-penyimpangan.
Di
sanalah oposisi dibutuhkan, dan menurut Kleden
(2001) bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan, tapi semacam advocatus
diaboli atau devil’s
advocate yang memainkan peran
sebagai setan yang menyelamatkan kita justru dengan mengganggu kita terus
menerus. Dalam peran ini oposisi berkewajiban mengemukakan titik-titik
kelemahan dari suatu kebijakasanaan, sehingga apabila kebijaksanaan itu
diterapkan, segala hal yang dapat mengakibatkan efek samping yang merugikan
sudah lebih dulu ditekan seminimal mungkin. Tragedi Orde Baru yang dialami
pemerintah Indonesia, bahwa oposisi dipandang sebagai devil (setan) tidak pernah diakui sebagai advocate
atau pembela. Sebab, sudah menjadi suatu postulat bahwa ”kekuasaan mempunyai tendensi
bukan saja untuk memperbesar dan memperkuat dirinya, melainkan juga memusatkan
dirinya”.
Manfaat
lainnya bahwa dengan kehadiran oposisi, masalah accountability atau
pertanggungjawaban akan lebih diperhatikan oleh pemerintah. Tidak semua hal
akan diterima begitu saja, seakan-akan ⎯dengan
sendirinya ⎯jelas
atau beres dalam pelksanaannya. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus
selalu menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu
kebijaksanaandiambil, apa dasarnya, apa pula tujuan dan urgensinya (Kleden, 2001).
Dengan
demikian oposisi tidak hanya bertugas untuk mengingatkan pemerintah terhadap
kemungkinan-kemungkinan salah-kebijaksanaan
atau salah tindakan (sin of commission),
melainkan juga mampu menunjukkan apa yang harus dilakukannya, tetapi justru
tidak dilakukannya (sin of ommission).
Dalam hal ini jelas kewajiban oposisi adalah melakukan kualifikasi apakah
sesuatu itu harus dilakukan, tidak harus
dilakukan, atau malah tidak harus dilakukan sama sekali.
8. Sistem Politik
Konsep
”sistem politik” merupakan suatu istilah yang
mengacu kepada semua proses dan institusi yang mengakibatkan pembuatan
kebijakan publik. Perjuangan persaingan kelompok untuk menguasi secara politik adalah
suatu aspek/ yang utama dalam suatu sistem politik. Komponen-komponen yang berikut
ini adalah bagian penting dalam suatu sistem politik;
Dengan
demikian secara sederhana dalam setiap sistem politik akan mencakup:
1.
Fungsi
integrasi dan adaptasi terhadap masyarakat, baik ke luar maupun ke dalam.
2. Penempatan nilai-nilai
dalam masyarakat berdasarkan
kewenangan.
3. Penggunaan kewenangan
atau kekuasaan, baik secara sah maupun tidak.
Oleh
karena itu berbicara tentang sistem politik pada hakikatnya sama halnya dengan
berbicara tentang kehidupan politik masyarakat (social political life) yang bersifat infrra struktur, dan kehidupan
politik pemerintah (governmental political
life) yang bersifat supra struktur (Haricahyono,
1991).
9. Demokrasi
Konsep
”demokrasi” secara umum merupakan sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut
serta memerintah dengan perantara wakil-wakilnya. Namun ada juga yang
menyatakan suatu sistem politik di mana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat
dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik
dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik (Mayo, 1960: 70).
Jika
dilihat dari sejarahnya, ”demokrasi”
sudah berakar sejak zaman Yunani kuno. Dalam karya Yunani kuno yang
berjudul Polis atau negara kota, ”demokrasi” adalah nama
konstitusi (sistem pemerintahan) di mana masyarakat yang lebih miskin bisa menggunakan
kekuasaan untuk membela kepentingan mereka yang tiap kali berbeda dari
kepentingan kaum kaya dan para bangsawan (Minogue,
2000: 214).
Aristoteles
sendiri berpendapat bahwa ”demokrasi” adalah bentuk pemerintahan yang tidak begitu bernilai dan ”demokrasi”
memainkan peran yang reltif kecil dalam pemikiran politik saat itu.
Begitu
juga menurut sejarawan saat itu,
Polybius maupun penulis lainnya menyatakan bahwa suatu konstitusi yang
merupakan campuran berimbang dari elemen-elemen monarki, aristokrasi, dan
demokrasi bisa stabil. Namun secara umum,
saat itu demokrasi dianggap ”agresif” yang tidak stabil serta mengarah
kepada tirani, dan ini bisa dilihat dalam karya Plato yang berjudul Republik (Minogue, 2000: 214).
Demokrasi
juga merupakan suatu slogan yang sangat menggoda karena tampak menjajikan dalam
suatu bentuk pemerintahan yang ideal,harmonis dan mencintai kebebasan. Dalam
realitasnya prinsip demokrasi senantiasa terus berubah, sejalan dengan
perubahan masyarakat yang dinamis dalam penyempurnaan konstitusi. Demokrasi
hanya memungkinkan tumbuh subur, jika masyarakat dapat mengakui kepentingan-kepentingan
sebagian orang maupun masyarakat lainnya. Namun tidak ada negara yang
benar-benar demokrasi sampai memuaskanseluruh rakyatnya maupun dengan munculnya
suatu oposisi yang sempurna pula sebagai penyeimbang.
Demokrasi
sebagai suatu kekuatan orang banyak, juga
bisa ditilik dalam Magna Charta, 1215,
Bill of Rights 1689, maupun Deklarasi Amerika 1776. Namun yang memberikan kontribusu besar
terhadap konsep demokrasiadalah Revolusi Prancis. Pada saat itulah sebenarnya
”demokrasi” dianggap namabaru bagi aliran republikanisme yang merupakan kritik
terhadap dominasilembaga monarki di Eropa. Dari momentum keberhasilan inilah
yang kemudian penyebaran demokratisasi meluas ke mana-mana. Menurut Huntington
(1991) sejauh ini ada tiga arus demokratisasi dan dua arus sebaliknya: arus
pertama terjadi selama periode 1828-1926 dan arus balik pertama berlangsung
selama periode 1922-1942. Arus kedua muncul pada 1943-1962 dan arus balik kedua
pada 1958-1975. Arus ketiga terjadi mulai tahun 1974 sampai sekarang.
Keseluruhan proses demokratisasi telah berpindah dari kawasan Anglo-Saxon dan
negara-negara Eropa Utara ke cekung EropaSelatan dan Amerika Latin. Saat ini
gelombangnya telah mencapai seluruh erupa Timur dan beberapa negara Asia.
10. Pemilihan Umum
Pemilihan
Umum adalah suatu kegiatan politik baik untuk memilih atau menentukan
orang-orang yang duduk di dewan legislatif maupun eksekutif. ”Pemilihan umum”
juga masih diyakini sebagai cara terbaik untuk memilih pejabat publik. Selain itu
penyelengaraan pemilihan umum dapat dinyatakan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dan sebagai barometer dari kehidupan demokrasi, terutama di negara-negara
Barat (Lipset, 1960; Schumpeter,
1942).
Sesuai
dengan perkembangan demokrasi, pemilihan umum sekarang telah meluas tidak
sekedar milik Eropa dan Amerika Utara. Pada tahun 1975 hanya 33 negara didunia
yang tidak menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih para pemimpinnya.
Namun bagi kebanyakan negara, pertanyaanyang lebih penting adalah, pemilihan
umum macam apa yang seharusnya dilaksanakan? (Kavanagh, 2000: 284).
Adapun
fungsi-fungsi adanya pemilihan umum, menurut Rose dan Mossawir (1967), antara
lain:
1. menentukan
pemerintahan secara langsung maupun tak langsung.
2. sebagai
wahana umpan balik antara pemilik suara dan
pemerintah.
3. barometer
dukungan rakyat terhadap penguasa.
4. sarana
rekrutmen politik.
5. alat
untuk mempertajam kepekaan pemerintah terhadap tuntutan rakyat.
Sedangkan
jika dilihat dari unsur-unsur
yang diperlukan dalam pemilihan umum (Lipset
dan Rokkan, 1967) yakni :
1. Obyek pemilu,
yaitu warganegara yang memilih pemimpinnya.
2. Sistem kepartaian
atau pola dukungan yang menjadi perantaraantara pemilik suara dan elite atau
para pejabat publik.
3. Sistem pemilihan
(electoral system) yang menerjemahkan
suara-suara menjadi kursi jabatan di parlemen ataupun pemerintahan
Dilihat
dari bentuknya sistem pemilihan umum ini terdapat beberapa macam. Ada bentuk
pemilihan sistem distrik yang didasarkan atassatu kesatuan geografis. Di luar itu
juga menurut Kavanagh (2000: 284), terdiri dari
banyak variasi.
1.
sistem mayoritas
absolut (misalnya Prancis) di mana pemenang harus memperoleh sekurang-kurangnya
separuh dari total suara.
2. sistem
pluraalis (dipraktekkan di sebagaian besar negara berbahasa Inggris) dengan
berbagai tingkatan proporsionalitas, mulai dari representasi proporsi murni
(misalnya Belanda) di mana 0,67 persen dari total suara dapat memberi sebuah
kursi di parlemen bagi sebuah kelompok, hingga ke sistem yang memadukan berbagai
mekanisme seperti di Jerman (separuh kursi di parlemen diberikan kepada pihak
yang memperoleh suara terbanyak, sedangkan sisanya dibagi-bagi untuk setiap
pihak yang memperoleh 5 persen suara).
11. Partai Politik
Konsep
”partai politik” mengacu kepada sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil
dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi
pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kemanfaatan
bagi para anggotanya baik yang bersifat
idiil maupun material (Lijphart, 2000:
731; Friederich, 1967). Oleh karena itu secara umum dapat dijelaskan bahwa partai
politik adalah suatu kelompok yang terorganisir di mana para anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai dan citacita serta perjuangan yang sama. Tujuan kelompok
ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politikdan merebut kedudukan politik ⎯biasanya
dengan cara konstitusional ⎯untuk
melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka (Budiardjo, 2000).
Tetapi
definisi yang dikemukakan di atas mendapat kritikan dari Schlesinger dalam (1968)
yang menganggapnya terlalu sempit dan tidak mengikutsertakan tiga jenis organisasi
yang biasanya menjadi acuan berbagai partai.
1. Organisasi yang terlalu
kecil untuk dapat membuat perubahan perubahan yang realistis untuk memenangkan jabatan publik
terutama posisi eksekutif tetapi tetap
mencalonkan kandidat serta berpartisipasi dalam kampanye pemilihan.
2. Partai revolusioner,
yang bertujuan untuk menghilangkan pemilihan yang kompetitif.
3. kelompok
yang memerintah dalam negara otoriter lainnya yang memiliki satu partai.
Walaupun
telah dimasukkannya tiga kategori tambahan tersebut dan menjadikan definisi
partai politik makin luas, namun terjadi kesulitan terutama untuk mengetahui
bagaimana membedakan antara partai politik
dengan kelompok kepentingan. Sebab kelompok kepentingan kadang-kadang
juga mengajukan kandidatnya untuk satu jabatan publik tanpa harus mengubah
cirinya menjadi partai politik.
Untuk
menjawab kesulitan baru tersebut, munculah duapendekatan baru yang ditawarkan
Almond (1960) Almond mengemukakan bahwa fungsi kelmpok kepentingan(non-parpol)
umumnya adalah menyuarakan kepentingankepentingan, sedangkan partai politik
melayani fungsi agregasi dari berbagai kepentingan yang diartikulasikan tersebut.
12. Desentralisasi:
Konsep ”desentralisasi” dalam Ensiklopedi Indonesia, (1984: 794)
dikemukakan sebagai pemindahan hak-hak pengaturan (bagian dari perundang-undangan)
dan perintah dari badan-badan penguasa atasan kepada yang lebih rendah. Mungkin
definisi ini terlalu luas dan seolah-olah konsep ”desentralisasi” dilawankan
dengan ”sentralisasi”. Padahal menurut Koswara (1996: 44),”desentralisasi”
bukan merupakan suatu sistem yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu
rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar. Dengan demikian desentralisasi bukan pula merupakan
alternatif dari sentralisasi, karena
antara desentralisasi dan sentralisasi tidak dilawankan, dan karenanya
tidak bersifat dkhotomis, melainkan merupakan
sub-sub sistem dalam kerangka system organisasi negara.. Namun demikian tidak
berarti kita harus pasif dan tidak kritis membedakan dengan istilah-istilah
lain yang serupa. Dalam realitasnya di masyarakat, konsep ”desentralisasi” tersebut
sering dikacaukan dengan konsep konsep ”dekonsentrasi” maupun ”devolusi”. Kalau
saja dalam ”dekonsentrasi” hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung
jawab administrative anatar departemen pusatdengan pejabat pusat di lapangan
(pejabat pusat di daerah). Sedangkan dalam
”devulusi” adalah pemerintah pusat membentuk unit- unit pemerintah di
luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu untuk
dilaksanakan secara mandiri (Koswara, 1996).
Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
memberikan definisi tentang desentralisasi
sebagai berikut: ”.. decentralization
refers to the transfer of authority away from the national capital whether by
deconcentration (i.e. delegation) to field offices or by devolution to local
authorities or local bodies” Dengan demikian desentralisasi merupakan proses
kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah, yang dapat dilakukan baik
dengan delegasi kepada pejabat-pejabat di daerah (deconcentration) atau
dengan devolution kepada badan-badan otonom daerah. Artinya
bahwa dekonsentrasi dan devolusi merupakan bagian integral dari desentralisasi.
Dan, menurut Bryan dkk. (1987) bahwarealitasnya ada dua bentuk desentalisasi,
yakni desentralisasi yang bersifat administratif dan politik.
Kalau saja desentralisasi administratif merupakan
suatu delegasi wewenang pelaksanaan yang diberikan kepada pejabat pusat di tingkat lokal. Dengan demikian pejabat
tersebut bekerja dalam batas-batas rencana dan sumber pembiayaan yang sudah
ditentukan, namun memiliki keleluasaan, kewenangan, dan tanggung-jawab tertentu
dalam pengembangan kebijaksanaan. Sedangkandalam desentralisasi politik, adalah
wewenang pembuatan keputusan dan control tertentu terhadap sumber-sumber daya
yang diberikan kepada badan-badan pemerintah regional dan lokal.
13. Persamaan
Sebenarnya konsep ”persamaan” atau equality,
hampir melekat pada beberapa disiplin ilmu.Dalam ilmu matematika, istilah
”persamaan” memiliki makna bahwa persamaan sebagai sebuah konsep hubungan yang
kompleks, sifatnya bervariasi mulai dari identitas hingga korelasi, namun di
dalamnya sama sekali tidak ada kandungan nilai atau moral. Sebaliknya dalam
ilmu sosial khususnya politik, konsep ”persamaan” sangat sarat nilai. Konsep
ini merujuk kepada prinsip dasar pengaturan
masyarakat manusia, seperti yang dikemukakan
Thomas Jefferson, bahwa setiap
orang dinyatakan punya kedudukan yang setara sebagai warganegara (Halsey,
2000: 303). Di sinilah para ilmuwan sosial, sejak lama mencari validitas
empiris atas arti ”persamaan” tersebut. Pertanyaan kunci yang hendak dijawab adalah”apakah persamaan ekonomi,
politik dan sosial itu memang bisa
diwujudkan, dan sejauh manua itu bisa? Terhadap pertanyaan itu tentu saja
jawabannya ampai sekarang belum disepakati, sesbab ada beberapa ahli menyebutnya
\”persamaan” itu sebagai yang bersifat alamiah ataupun hokum alam, namun ada
pula yang menyebutnya sebagai konstruksi soail buatan manusia yang harus
diperjuangkan..
Pernyataan-pernyataan bahwa ”persamaan” itu
sesuatu yang alamiah dikemukan sejak zaman Yunani kuno. Plato (427-347 sM) menyatakan bahwa kedudukan politik setiap orang
secara alamiah selalu berbeda. Lain lagi dengan pernyataan Hobbes dalam Leviathan
(1934 [1651]) mengemukakan pendapat yang justru sebaliknya bahwa alam menyediakan
setiap orang untuk setara, meskipun ada orang yang lebih kuat dari yang lain,
perbedaan hanya akan membuat orang satu mengambil keuntungan sepihak dari yang
lain yang juga lalai menyadari persamaan itu. Pendapat Hobbes ini nampaknya
lebih berpengaruh terutama dalam pembahasan jender dan ras. Namun persoalan
yang muncul adalah nilai-nilai apa yang mengukuhkan persamaan di antara
kelompok-kelompok yang terlanjur diyakini tidak sepenuhnya setara.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan serupa itulah
maka Christopher Jencks dalam karyanya
Inequality (1972) mengemukakan
bahwa persamaan tidak hadir dengan sendirinya, melainkan diupayakan atau dibuat.Ia
menunjuk pada reformasi pendidikan sebagai salah satu instrumennya. Sebab
melalui pendidikan seseorang dapat mengejar ketertinggalannya di berbagai
bidang;, politik, budaya, termasuk ekonomi. Walaupun ia juga menyadarai bahwa
dengan pendidikan sering memperlebar jurang pemisahnya dengan orang-orang
lain yang kurang beruntung. Lagi pula
berdasarkan data pengaruh pendidikan terhadap pendapatan di Amerika hanya
memberi pengaruh 12%, namun demikian argumen Jencks walaupun agak lemah tentang
”persamaan” harus diupayakan atau dibuat ituadalah amat penting.
14. Demonstrasi
Konsep ”demonstrasi” secara umum berarti
‘memperlihatkan, memamerkan, menunjukkan, dan membuktikan’, namun dalam ilmu
politik merupakan tindakan sekelompok
orang yang secara bersama-sama untuk menunjukkan dukungan maupun protes
kolektif baik itu ketidakpuasan maupun ketidaksetujuan (Shadily, 1980: 785). Dalam wujudnya demontrasi tersebut bisa berupa
demonstrasi konstitusional yang tertib dan rapi bahkan enak dipandang mata layaknya sebagai tontonan (banyak dilakukan di Jepang
dan Korea Sealtan). Namun bisa juga terjadi
demontrasi yang anarkhis dengan merusak sarana public maupun memusuhi kelompok-kelompok
penentang maupun aparat pemerintah.
Salah satu teori gerakan sosial protes maupun
demonstrasi yang terkenal adalah Teori Deprivasi Relatif dari Ted
Robert Gurr dalam bukunya Why Men Rebel (1970). Ide dasar teori ini adalah adanya
”penghilangan”, ”perampasan”, yang disertai ketegasan dan keterusterangan dalam
penolakannya itu sebagai suatu respons terhadap suatu ketidakadilan yang mereka
rasakan. Secara lebih rinci bahwa dalam teori deprivasi relatif ini :
1. depvrivasi relatif sebagai perubahan harapan
dan kemampuan untuk memenuhi harapan itu, maka bentuk deprivasi dapat dibedakan
berdasarkan pola-pola perubahan.
a. Deprivasi persisten yaitu kemampuan yang secara konstan berada
dibawah harapan.
b. Deprivasi aspirasional yaitu harapan naik kemampuan konstan.
c. Deprivasi dekremental, di mana harapan konstan dan kemampuan turun.
d. Deprivasi progresif di mana kemampuan naik tetapi masih lebih
rendah dibandingkan harapan.
Namun yang paling menentukan dalam munculnya
gerakan dan kekerasan politik adalah factor ”ketidakpuasan”.
2. Ada tiga bentuk faktor yang memperantarai
gerakan dan kekerasan politik:
a. Justifikasi normatif untuk kekerasan
b. Justifikasi kemanfaatan untuk kekerasan
c. Keseimbangan antara sumber-sumber daya
koersif dan institusional dari
pemberontak vs negara (Klandersman,
2005).
15. Hak Asasi Manusia
Menurut Rosalyn
Higgins, seorang pakar yang tergabung dalam
United Nations Committee on Human
Rights, pengertian ”Hak Asasi Manusia” (HAM) adalah hak-hak yang dimiliki
oleh semua orang sesuai kondisi yang manusiawi. Oleh karena itu hak-hak
tersebut bukan merupakan pemberian atau anugerah negara yang bisa dicabut
melalui peraturan peraturan hukum oleh negara.
Walaupun sistem hukum setiap berbeda-beda,
bahwa hak-hak asasi manusia yang menjadi hak bagi setiap orang itu merupakan
hak-hak dalam hukum internasional. Sebagai contoh, hak asasi untuk memperoleh pengadilan
yang adil, tidak ada bedanya antara mereka yang tinggal di negara yang menganut
system hukum common law, civil law,
maupun sistem hukum Romawi. Dalam hal ini negara pada hakikatnya berkewajiban
untuk menjamin bahwa setiap system hukum
mereka mencerminkan dan melindungi hak-hak asasi manusia yang bersifat
internasional yang berada pada wilayah jurisdiksi mereka (Higgins, 2000).
Perdebatan tentang universalitas tidaknya HAM,
memangsudah berlang lama, memang dalam pertumbuhannya HAM tidak lepas dari
budaya masyarakat setempat dan tidak isa dipukul-rata seperti yang
diinginkan oleh pengajur HAM radikal
Barat. Akan tepai terdapat juga dokumen-dokumen HAM yang diakui secara
universal seperti International Convenant
on Human Rights 1966 yang didasarkan
pada Universal
Declaration of Hman Rights 1948. Hal ini lebih dari 140 negara telah
menandatangani dokumen International Convenant on Civil and Political Parties, termasuk negara-negara Eropa Timur,
negara-negara Timur Tengah (Mesir, Tunisia, Iraq, Iran, dan sebagainya).
Kemudian sejak berlakunya dokumen HAM tersebut sejak awal tahun 1990-an, konsep
universalitas HAM berkembang secara bertahap.
Setelah runtuhnya tembok Berlin 1899, ada
usulan diselenggarakannya Konperensi Dunia tentang HAM dan dilaksanakan di Wina
Austria tahun 1993. Hasilnya Dalam persiapannya
negara-negara diminta meratifikasinya. Ternyata di sinilah menimbulkan polemik,
di mana Barat terlalu banyak gagasan liberal yang mendominasinya. Akhirnya
setelah melalui perdebatan yang ”alot” dicapai kata sepakat bahwa ”keragaman regional
hendaknya tidak mengikis, melainkan sedapat mungkin mendukung universalisme HAM
(Higins, 2000). HAM tidak sekedar mencakup hak –hak sipil dan politik, tetapi
juga hak-hak ekonomi, sosial, budaya, seperti yang tercantum dalam International Convenant on Economic, Social,
and Cultural Rights. Dalam hal ini terjadi kontroversial antara negara maju dan berkembang. Beberapa negara maju
khususnya Barat, skeptic terhadap instrumen implementasinya (misal hak untuk
memperoleh pendidikan,perumahan, kesehatan, dan sebagainya). Sementara itu di
kalangan negara-negara berkembang sendiri tidak begitu yakin akan mampu
memenuhi hak-kah tersebutdalam jangka
pendek, karena prioritas program mereka bukan itu yang utamanya.
16. Voting (Pemungutan Suara)
Istilah ”voting” atau ”pemungutan suara”
merujuk kepada suatu instrument untuk mengekspresikan dan mengumpulak pilihan
partai atau calon dalam pemilihan. Jika ditinjau dari sejarahnya, kegiatan
semacam ini sudah sangat tua. Banga
Yunani kuno, melakukan voting/pemungutan suara dengan menempatkan batu kerikil
(psephos) di sebuah jambangan besar yang kemudian memunculkan istilah
psephology, atau kajian mengenai bermacam-macam pemilihan umum.
Kemudian menjelang akhir abad ke-19 kebanyakan
negarabarat memberikan hak suara kepada sebagian pria dewasa, dan selama dasawarsa
awal abad ke-20 hak itu juga diperluas kepada sebagian besar wanita dewasa (Kavanagh, 2000: 1130). Perkembangan
terakhir semacam ini dalam sistem pemerintahan demokrasi, telah menjadi trend
baru dalam pemilihan-pemilihan kompetitif yang bebas.
Berdasarkan pengalaman historis, bangsa
Indonesia dalam melaksanakan pemilihan umum belum pernah menggunakan sistem
distrik secara penuh, dalam arti lebih percaya kepada sistem proporsional
walaupun kini ada gagasan system yang dikombinasikan dengan sistem
proporsional. (Republika, 27/11/98;
Chaidar, 1999: 37). Menurut para pengamat politik Indonesia, bahwa pemimpin partai politik Indonesia yang lebih
percaya kepada sistem proporsional tersebut menggambarkan ketidak beranian para
fungsionaris partai-partai politik di Indonesia yang tidak berani bertarung
secara jantan dan masih bersifat ”banci” (Chaidar,
1999: 37).
Generalisasi-generalisasi Ilmu Politik:
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
secara umum generalisasi merupakan “Generalizations
are statements of the relationship of two or more concepts. These statements
may range from very simple to very complex. Sometimes they are referred to as principles
or laws” (Banks, 1977: 26; 97).
Jadi, generalisasi itu merupakan pernyataan hubungan dua konsep atau lebih.Pernyataan
tersebut boleh terbentang dari yang sangat sederhana ke yang sangat kompleks.
Kadang-kadang mereka dikenal sebagai prinsip-prisip atau hukum.
Dari pernyataan tersebut maka
generalisasi-generalisasi dalam Ilmu politik yang sering dikembangkan di
tingkat pendidikan menengah berkaitan dengan konsep-konsep yang telah dibahas
sebelumnya, seperti di bawah ini
1.
Pemerintahan. Jika pemimpin suatu negara
menyalah gunakan kekuasaan untuk melanggengkannya demi kepentingan
pribadi dengan berbagai tindakan yang sewenang-wenang, cepat atau lambat akan
datang gerakan masa yang tidak bisa dibendung sebagai respons atas tindakan penyalahgunaan
kekuasaan tersebut.
2. Kedaulatan Rakyat. Meleletusnya Revolusi Prancis 1789, salah satu penyebab yang dominan
adalah disebabkan raja-raja Prancis berkuasasecara absolut, dalam arti tiadanya
kedaulatan rakyat Prancis yang dijunjung tinggi oleh pemerintah.
3. Kontrol Sosial. Dalam setiap pemerintahan, institusi masyarakat, maupunpemerintahan,
diperlukan suatu kontrol sosial untuk
memudahkan pengawasan jalannya suatu mekanisme perjanjain dan pemerintahan yang
telah disepakati.
4. Negara.
Adanya peraturan dan undang-undang dalam kehidupan bernegara,
pada hakikatnya dimaksudkan untuk menertibkan jalannya roda pemerintahan
dengan tertib, aman, dan berkesinambungan.
5. Pemerintahan. Pemerintahan yang diktator sering
menimbulkan suatu gerakan msyarakat-bangsa untuk melakukan suatu revolusi
yang mengarahkan perlawanan terhadap
rejim lama ketika menekan kebebasan dan menentang pembaharuan.
6. Legitimasi. Sebetulnya di awal masa
jabatannya pemerintahan Gusdur memiliki legitimasi yang baik untuk melaksanakan agenda reformasi
Indonesia, mengingat ia memperoleh dukungan mayoritas dari berbagai elite
dan partai politik yang mendukungnya.
Hanya saja karena ia sering “nyleneh”
dan “keras kepala” dengan seringnya melontarkan isu-isu yang kurang
perlu, bongkar-pasang kabinet, mondar-mandir ke luar negeri, bahkan tersandung
dalam Bulog-Gate, popularitas pemerintahannya menjadi pudar
bahkan berakhir secara tragis.
7. Oposisi. Tidak semua partai oposisi
itu jelek, karena oposisi juga bisa menjadi penyeimbang dan kontrol atas
mekanisme pemerintahan yang ada. Sebaliknya, juga tidak semua partai oposisi
baik, karena tidak sedikit partai
oposisi terlahir hanya didasarkan
pertimbangan emosional atas kekalahannya
dalam pemilihan umum yang telah lalu.
8. Sistem Politik. Bagi pemerintahan yang
menganut sistem politik yang komunis maupun otoritarian, maka jelas
kebebasan rakyat itu terkekang. Hal ini akan berbeda dengan di negara-negara
yang menganut sistem politik liberal seperti di negaranegara Barat, kebebadas
itu sangat luas, termasuk kebebasanseksual di mana bagi kita hal itu perlu
diatur dalam perundang-undangan.
9. Demokrasi. Tidak
semua pemerintahan yang demokrasi itu memiliki karakteristik universal, karena
nilai-nilai budaya suatu negara-bangsa akan turut mewarnai budaya politiknya.Dengan
demikian pemahaman mengenai pemerintahan yang demokrasi sarat dengan pengaruh
nilai-nilai internal suatu negara-bangsa.
10. Pemilihan Umum. Pemilihan Umum merupakan salah satu indikator pemerintahan yang
demokrasi. Sebab melalui sarana pemilihan umum, aspirasi rakyat ataupun
kontituen dapat dikomodir dengan sistem pemilihan umum yang baik.
11. Partai Politik. Jika suatu pemerintahan mengaku
dirinya demokrasi, sementara partai politik dilarang berdiri, hal itu dapat dimetaforakan
sebagai seekor harimau yang “dikebiri”. Ia tidak dapat menikmati kehidupan yang
bebas dan melakukan reproduksi, berati sama halnya dengan tidak dapat
menumbuh-kembangkan kehidupan demokrasi yang sejati yang menghargai hak-hak
asasi setiap pribadi.
12. Desentralisasi. Desentralisasi menjadi keniscayaan dalam pemerintahan Indonesia masa
kini, tanpa mengurangi makna sebagai negara kesatuan. Sebab tanpa desentralisasi,
berarti tidak ada otonomi bagi daerah, segala sesuatunya masih bersifat sentralistik,
di mana kesenjangan antara pusat dan daerah akan menjadi semakin timpang.
13. Demonstrasi. Gerakan demontrasi
mahasisiwa Indonesia, tidak pernah absen dalam perjuangan bangsa. Dalam
gerakan demontrasi anti pemerintahan Orde Lama, KAMI merupakan
motor utama dalam kegiatan-kegiatan Angkatan 66 dan memainkan peranan pokok
dalam arena politik berikutnya. Begitujuga dalam mengakhiri rezim Orde Baru
yang otoritarian, beberapa tokoh reformis
dan mahasiswa Indonesia berhasil menurunkan Jenderal Suharto dari
jabatan kepresidenannya melalui demonstrasi yang besar-besaran.
14. Persamaan. Dalam suatu tatanan pemerintahan
demokrasi, persamaan merupakan ide
fundamental dalam azas kehidupan berbansa dan bernegara, walaupun selalu ada
hirarki-hirarki itu yang membedakannya antar individu. Lagi pula selalu ada
untuk mengimbangi bentuk-bentuk hirarki itu. Untuk mengimbangi hirarki
kekayaan, ada pajak progresif. Untuk mengimbangi hirarki status sosial dalam
jabatan formal, ada masa pensiun. Namun tetap saja dibalik persamaan
tersebut memiliki beberapa ketidaksamaan secara relatif.
15. Hak Asasi Manusia. HAM tidak sekedar mencakup
hak–hak sipil dan politik, tetapi juga hak-hak ekonomi, sosial, budaya,
sepertiyang tercantum dalam International Convenant on Economic, Social, and
Cultural Rights.
16. Voting. Pada
umumnya sekarang ini sistem pemungutan suara (voting) diberikan haknya kepada
kaum laki-laki dan perempuan dewasa baik itu dalam sistem pemilihan distrik
maupun proporsional.
Teori-teori dalam Ilmu Politik
1. Teori Politik Kekuasaan Niccolo Machiavelli
Sebagaimana telah dicatat sebelumnya, teori
politik kekuasaan Niccolo Machiavelli dapat
dilihat sebagai penanda transisi dari dunia kuno ke modern yang sangat kontroversi.
Melalui karyanya yang berjudul The Prince tahun 1513, ia sering dituduh “gurunya
kejahatan” karena nasihat-nasihatnya yang
amoral seandainya bukan immoral. Meskipun karya-karyanya akhir-akhir ini
diinterpretasikan agak bersimpati, di belakang daya tarik ‘buah terlarang yang
lezat’ bagaimanapun para ahli telah
menemukan kontribusi-kontribusi signifikan lain dalam karya Machiavelli tersebut. Dengan menawarkan
sebuah analisis empiris yang rasional tentang negara dan politik modern,
tulisan-tulisannya meskipun muncul dalam bentuk ujaran-ujaran praktis, dipandang
sebagai sebuah kunci pembuka dari ilmu politik kontemporer.
Machiavelli dilahirkan pada tahun 1469 di kota Florence
(Italia Sekarang). Ia menghabiskan karir masa mudanya sebagai seorang diplomat
dan administrator di kota Florence, meskipun ia tidak pernah menjadi duta besar, ia menjalankan misi diplomatik dan
menjadi cukup ahli dalam urusan-urusan militer.
Ketika Republik Florentine jatuh digantikan
oleh keluarga Medici pada tahun 1512,
Machiaveli dipaksa keluar dari
posisinya dan mulai menjalani studi seumur hidup dalam bidang sejarah dan
politik. Dalam pikiran-pikirannya Machivelli
percaya bahwa rezim-rezim masuk ke dalam dua tipe, yaitu kepangeranan atau principality dan republik. Dalam buku The
Prince, ia memberikan nasihat tentang bagaimana mendapatkan dan mempertahankan
sebuah kepangeranan. Adapun isi dari teori Machiavelli
(Skinner, 1988: 4) tersebut:
a.
Untuk melakukannya seorang penguasa yang bijak hendaknya mengikuti jalur
yang dikedepankan berdasarkan kebutuhan, kejayaan dan kebaikan negara. Hanya dengan memadukan
machismo semangat keprajuritan,dan pertimbangan politik, seseorang penguasa
barulah dapat memenuhi kewajibannya kepada negara dan mencapai kebadian sejarah.
b.
Penguasa bijak hendaknya memiliki hal-hal:
1.
Sebuah kemampuan untuk menjadi baik sekaligus buruk, baik dicintai
maupun ditakuti.
2.
Watak-watak seperti ketegasan, kekejaman, kemandirian, disiplin, dan
kontrol diri; tasi menyangkut kemurahan hati, pengampunan, dapat dipercaya, dan
tulus.
3.
Seorang pangeran harus berani untuk melakukan apapun yang diperlukan, betapapun tampak tercela
karena rakyat pada akhirnya hanya peduli dengan hasilnya ⎯yaitu dengan kebaikan negara.
2. Teori Negara yang Berdaulat Jean Bodin
Jean Bodin hidup tahun 1530-1596, lahir di Anjou-Prancis
dari keluarga kelas menengah yang kaya. Pemikiran politik Bodin dibangun di bawah tekanan pengalaman pribadinya.
Ia hidup pada masa ketika pertentangan agama yang sudah lama dan mencapai
puncak ketika terjadi pembunuhan St. Barthomew tahun 1572 yang mengakibatkan
Prancis berada diambang kehancuran. Untuk itulah ia bergabung dalam kelompok
kecil pengacara dalam Politiques yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh ternama
seperti Michel de L’Hopital dan Duke of Alencon.Ia merasa sangat prihatin
dengan perpecahan itu, sehingga ia menulis
Six Books of Commonwealth. Sepuluh edisi karya ini dalam versi Bahasa
Perancis dan tiga dalam Bahasa Latin. Inti teorinya bahwa:
a.
Watak dan tujuan negara adalah merupakan hal pentingdiketahui sebelum
beralih pada cara mencapai tujuan negara. “Orang yang tidak memehami tujuan,
dan tidak bisa menentukan masalahnya dengan benar, tidak bisa berharap akan
menemukan cara-cara untuk meraihnya, sebagaimana orang yang melepaskan ke udara
dengan cara serampangan tidak akan mengenai sasaran” (Bodin, 1957).
b.
Negara sebagai “pemerintahan yang tertata dengan baik dari beberapa
keluarga serta kepentingan bersama mereka oleh kekuasaan yang berdaulat”.
Trdapat empat unsur dalam Negara:
1.
tatanan yang benar
2.
keluarga
3.
kekuasaan yang berdaulat
4.
tujuan bersama.
c.
Keluarga merupakan unit dasar bagi negara serta bukan individu. Kelurga
yang harmonis citra sejati dari commonwealth.
Sebagaimana dalam keluarga di mana tunduk pada perintah ayah adalah penting
bagi kesejahteraan keluarga, demikian juga patuh pada penguasa adalah penting
bagi stabilitas negara.
d.
Ayah yang mempunyai kekuasaan penuh dalam keluarga, maka dalam penguasa commonwealth harus mempunyai yurisdiksi penuh
terhadapwarga negaranya. Karena berkeluarga itu seperti bernegara; hanya bisa
satu penguasa, satu pemimpin, satu tuan. Jika beberapa orang mempunyai otoritas,
mereka akan merusak tatanan dan menimbulkan bencana yang terus berlanjut.
e.
Elemen yang membedakan negara dari semua bentuk asosiasi manusia lainnya
adalah kedaulatan.Tidak bisa ada commonwealth yangsejati tanpa kekuasaan yang
berdaulat menyatukan semua anggota-anggotanya. Suatu otoritas yang mutlak dan
tertinggi yang tidak tunduk pada kekuasaan manusia lainnya harus ada dalam
lembaga politik.
3. Teori Kekuasaan Negara yang Terbatas John Locke
John Locke (1632-1704) dilahirkan di Wrington-Somerset.
Orang tuanya adalah penganut Puritan, di mana ayahnya adalah seorang tuan tanah
dan pengacara yang berperang di parlemen wada waktu perang sipil. Karya utamanya adalah Two Treatises of Government, sebuah karya yang sering kali disebut
sebagai “Bibel Liberalisme Modern”
(Schmandt, 2002).
Inti ajaran Locke pada hakikatnya adalah:
a.
Manusia hidup pada awalnya adalah dalam “kondisi alamiah” (state of
nature), adalah kondisi hidup bersama di bawah bimbingan akaltanpa ada
kekuasaan tertinggi di atas umi yang menghakimi mereka berada dalam keadaan
alamiah. Dalam masyarakat pra-politik ini orang bebas, sederajat, dan merdeka.
b.
Setiap orang mempunyai kemerdekaan alamiah, untuk bebasdari setiap
kekuasaan superior di atas bumi, dan tidak berada di bawah kehendak atau
otoritas legislative manusia.
c.
Meskipun keadaan alamiah adalah keadaan kemerdekaan,ia bukan keadaan
kebebasan penuh. Ia juga bukan masyarakat yang tidakberadab, tetapi masyarakat anarki
yang beradab dan rasional. Ia tidak mempunyai
kemerdekaan untuk menghancurkan dirinya atau apa yang menjadi miliknya.
d.
Untuk menanggulangi kelemahan dalam ‘hukum alam’, terdapat kebutuhan hukum
yang mapan yang diketahui, diterima, dan disetujui oleh kesepakatan bersama
untuk menjadi standar benar dan salah
e.
Individu tidak menyerahkan kepada komunitas tersebut hak-hak alamiahnya yang substansial, tetapi
hanya hak-hak untuk melaksanakanhukum alam.
f.
Hak yang diserahkan oleh individu tidak diberikan kepada orang atau
kelompok tertentu, tetapi kepada seluruh komunitas.
g.
Kontrak adalah perjanjian untuk membentuk suatu masyarakat politik. Ketika
masyarakat itu telah terbentuk, kemudian harus membentuk pemerintahan yang dilanjutkan
dengan membentuk lembaga-lembaga yang terpercaya untuk mencapai tujuan
pemerintahan tersebut.
h.
Masyarakat politik adalah pembuat sekaligus pewariskeputusan tersebut. Sebagai
pembuat ia menetapkan batas-batas kekuasaan; sedangkan sebagai pewaris ia adalah
penerima manfaat yang berasal dari pelaksanaankekuasaan tersebut.
4. Teori Pemisahan Kekuasaan Baron de Montesquieu
Baron de Montesquie (1689-1755) yang populer diskenal Montesquieu,
dilahirkan dari keluarga kaya raya kelas ningrat (petite noblese), di Paris Perancis. Karyanya yang terkenal
adalah De l’esprit des lois atau Spirit of the Laws (Jiwa
Peundang-undangan) pada tahun 1748. Montesquieu lebih dikenal sebagai “Bapak Teori Pemisahan Kekuasaan”,
kendatipun tidak sedikit gagasan-gasan beliau juga membahas tentang hubungan antara
hukum dan institusi politik yang perlu disesuaikan dengan lingkungan (sejarah,
geografi khususnya iklim dimanaorang itu tinggal. Secara keseluruhan teori
Montesquieu ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
Hukum dan institusi politik harus disesuaikan dengan lingkungan sejarah, geografi, dan iklim di mana orang tinggal. Tidak ada aturan yang
pasti dan tidak ada bentuk pemerintahan yang berlaku bagi semua masyarakat (relativisme).
b.
Bentuk pemerintahan yang paling tepat adalah pemerintahan yang paling
sesuai dengan karakter orang-orang yang mendiami wilayah itu.
c.
Dalam klasifikasi pemerintah, terdapat tiga jenis pemerintahan, yakni:
1.
Republik
2.
Monarki
3.
Despotik.
Republik bisa berupa
demokrasi, ketika kedaulatan diserahkan kepada semua lembaga kerakyatan, atau
aristokrasi, ketika kekuasaan tertinggi hanya diserahkan sebagian anggota
masyarakat. Monarkhi adalah pemerintahan konstitusional oleh satu orang,
sedangkan despotism adalah kekuasaan yang sewenang-wenang oleh satu orang di
mana tidak mentolerir intervensi keberadaan aristokrasi atau beberapa kekuasaan
perantara yang berdiri di antara penguasa dan rakyat dan bertindak sebagai penengah.
d.
Untuk menghindari ketegangan politik dan perang, makahukum dibutuhkan,
baik itu hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan antar bangsa/Negara merdeka, hukum sipil yang
mengatur hubungan antar individu-individu, dan hukum politik yang mengatur dan
menentukan hubungan antara penguasa dengan rakyat.
e.
Negara yang cocok untuk memaksimalkan kebebasan dan menyeimbangkan
persamaan, adalah negara di mana kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif pemerintah dipisahkan sendiri-sendiri
sehingga hukum sipil dapat dibuat menurut kebutuhan semua bagian masyarakat (Apter, 1996).
5. Teori Hak Pemilikan Legal Robert Nozick
Sebagaimana kaum libertarian membela pasar bebas, mereka
mentang penggunaan kekuasaan negara bagi kebijaksanaan sosial, termasuk pola-pola perpajakan redistributif dalam
menerapkan teori persamaan liberal. Akan tetapi tidak semua orang yang
mendukung pasar bebas dapat digolongkan sebagai seorang libertarian, karena
tidak semua dari mereka menerima pandangan kaum
libertarian bahwa pasar bebas secara inheren adil yang membela kaum
kapitalisme tanpa batas (unsrestricted capitalim)
adalah produktivitasnya (Kimlicka, 2004:
127). Seperti yang dikatakan Nozick
(1974: ix) ”individu memiliki memiliki hak dan terdapat hal-hal yang tidak
seorangpun atau sebuah kelompok-pun boleh mencampurinya (tanpa melanggar hak itu).
Sedemikian kuat dan luas jangkauan hak-hak ini. Karena orang memiliki hak untuk
menghabiskan sekalipun untuk kepemilikannya menurut apa yang dianggap sesuai.
Sedangkan campur-tangan pemerintah sama denganpemaksaan kerja yang merupakan
sebuah pelanggaran, bukan atas efisiensi, tetapi atas hak-hak moral dasar kita.
Dengan demikian klaim pokok Nozick
dapat dikemukakan ”jika kita memiliki menganggap bahwa semua orang memiliki hak legal (entiled) atas barang-barang yang sekarang
dimilikinya, maka distribusi yang adil secara sederhana adalah distribusi yang
dihasilkan dari pertukaran bebas (free
exchanges) di antara orang-orang. Semua distribusi yang timbul oleh
pemerintah secara bebas (free transfers) dari sebuah situasi
yang adil dengan sendirinya adalah adil. Namun jika pemerintah berusaha memajaki pertukaran
tersebut dengan melawan kemauan orang itu, itu berarti tidak adil, bahkan
seandainya pajak tetap dipergunakan untuk memberikan konpensasi bagi seseorang
yang harus menanggung biaya ekstra karenarintangan alamiah yang tidak semestinya.
Dengan demikian satu-satunya perpajakan yang sah adalah mengumpulkan penghasilan
demi memelihara latar belakang
institusi-institusi yang diperlukan untuk melindungi sistem pertukaran
bebas misalnya polisibeserta jajaran penegak hukum lainnya dalam menegakkan
pertukaran bebas.
Nozick
mengklaim bahwa dengan meningkatnya kekayaan sosial akan terjadi proefisiensi
secara maksimal.. Secara lebih rinci ,menurut Nozick dalam karyanya yang
berejudul Anarchy, State, and Utopia
(1974) terdapat tiga prinsip utama dalam entitlement theory (teori hak
pemilikan legal) sebagai berikut:
a.
Prinsip transfer (principle of
transfer) apa-pun yang diperoleh secara adil dapat ditransfer secara bebas.
b.
Prinsip perolehan awal yang adil (principle
of just initial acquisition) penilaian
tentang bagaimana orang pada awalnya sampai memiliki sesuatu yang dapat dittransfer
menurut prinsip pertama.
c.
Prinsip pembetulan ketidakadilan (principle
of rectification of injustice)
bagaimana berhubungan dengan pemilikan (holdings) jika hal ini diperoleh atau ditransfer melalui cara yang
tidak adil.
Dengan demikian secara bersama ketiga prinsip
tersebut mengimplikasikan bahwa jika apa yang sekarang ada pada orang diperoleh
dengan cara yang adil, maka rumus distribusi yang adil adalah ”setiap orang memberikan sesuai dengan pilihannya, dan setiap orang
menerima sesuai dengan apa yang dipilihnya atau
from each as they choose, to each
as they are chose (Nozick, 1974: 160).
Masa Orde Baru berbanding dengan Masa Reformasi
07 March 2013 | 08:34
Hampir lebih dari 15 tahun bangsa indonesia meninggalkan era orde baru
dan lepas landas ke era reformasi. Sebuah era atau masa yang dipercaya pada
waktu itu akan memberikan pengaruh yang baik dan besar bagi bangsa Indonesia
yang saat itu sedang dihinggapi masalah krisis ekonomi yang sistemik. Sebuah
sistem yang diyakini akan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menentukan
nasibnya sendiri untuk memilih pemimpin yang diharapkan rakyat. Sebuah masa
yang dengan sistem refomasi memberikan kedaulatan penuh kepada rakyat untuk
memajukan bangsa ini. Reformasi juga merupakan bentuk perombakan suatu tatanan
sistem kenegaraan yang menggulingkan kekuasaan atau rezim orde baru pada waktu
itu karena rakyat sudah tidak lagi percaya kepada pemerintahan yang merupakan
mandataris dari MPR pada waktu itu. Reformasi juga membawa bangsa Indonesia ini
ke tataran sistem demokrasi dimana rakyat dapat melakukan pemilihan langsung
untuk memilih pemimpin seperti saat ini yang kita rasakan bersama. Reformasi
juga membuka kran informasi bagi media untuk dapat memberitakan pemberitaan
baik yang berisi tentang keberhasilan pemerintah dan juga pemberitaan untuk
menyampaikan kritik kepada pemerintah. Reformasi juga, membawa bangsa indonesia
ke arah kehidupan politik yang terbuka dalam arti siapa saja bisa menjadi
politisi dan berserikat yang haknya dilindungi oleh konstitusi.
Namun jika dibandingkan dengan hari ini, 15 tahun semenjak
reformasi dicanangkan dan demokrasi dipilih menjadi sebuah sistem yang paling
ideal, muncul sebuah pertanyaan apakah reformasi 15 tahun yang lalu sudah
memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat luas dan bangsa Indonesia ini secara
umum?
Di era reformasi ini masyarakat seolah semakin turun
kepercayaannya terhadap dunia politik yang terbukti dari turunnya tingkat
partisipasi masyarakat dalam setiap pemilihan kepala daerah. Masyarakat juga
mungkin akan lebih mempertimbangkan bagaimana cara untuk mempertahankan hidup
di era reformasi ini dibanding harus berpikir secara kebangsaan, dimana jurang
kesenjangan semakin melebar karena birokrasi lebih berpihak kepada mereka yang
bergelar kaum ekonomi menengah ke atas. Di era reformasi yang katanya bahwa
masyarakat dilindungi oleh hukum juga tidak jarang masyarakat dibuat takut oleh
para penegak hukum dengan dalih bahwa hukum harus ditegakkan. Padahal dalih
tersebut lebih sering dijadikan arena “proyek” mencari uang oleh para mereka
yang berwenang. Sehingga opini yang terbangun adalah hukum itu terlalu tajam ke
bawah namun tumpul keatas.
Dulu, di akhir era orde baru kita seakan dibuat benci oleh
presiden Soeharto yang telah lama menjadi penguasa dan banyak membangun bangsa
ini dengan anggapan banyak melakukan praktek Korupsi, Kolusi, dan Nekotisme
yang dilakukan pemerintah Orde Baru pada saat itu, sehingga masyarakat menjadi
anarkis dan dibuat kisruh pada waktu itu. Bahkan, disebut – sebut Soeharto
melakukan korupsi besar – besaran yang sampai saat ini juga sebenarnya tidak
jelas lagi kejelasan dari dugaan kasus tersebut.
Sekarang, jika kita bandingkan dengan masa reformasi mungkin
banyak lebih baiknya, tapi juga banyak lebih buruknya. Lebih baiknya adalah
bahwa hari ini, rakyat tidak lagi dibayang – bayangi teror pemerintah otoriter.
Pemerintah saat ini cenderung lebih memperhatikan kestabilan politiknya karena
media mengawasi kinerja pemerintahan dengan cukup gencar meski saat ini media juga
cenderung memberitakan hal yang buruk – buruknya saja sehingga membangun opini
masyarakat rakyat bahwa Indonesia saat ini mengalami degradasi moral dan
kepemimpinan karena banyak elit pemerintahan yang melakukan korupsi dan lain
sebagainya, padahal saya yakin tidak semua elit pemerintah seperti itu. Dapat
dikayakan bahwa pada era orde baru dan era reformasi ini banyak pejabat yang
melakukan korupsi, tapi bedanya korupsi era orde baru dan era reformasi saat
ini adalah pos – pos yang dikorup. Anies Baswedan pernah mengatakan bahwa
perbedaan korupsi pada masa orde baru dan masa reformasi adalah jika pada
pemerintahan orde baru pos yang dikorupsi adalah dana – dana non budgeter atau
diluar dari APBN bangsa ini, sedangkan pada masa reformasi saat ini, pos yang
dikorupsi adalah dana – dana APBN yang mengalir kepada elit – elit tertentu
yang tentunya sangat menguntungkan elit tersebut. Jika kita bandingkan kasus –
kasus yang ada saat ini, sudah berapa rupiah kerugian negara yang memang sudah
terbukti di persidangan hari ini? berapa rupiah kerugian negara tentang kasus
century? Berapa kerugian negara tentang kasus simulator SIM? Dan kasus – kasus
korupsi yang lainnya. Ironisnya lagi, jika kita anggap sejenak kalau dana –
dana yang dikorupsi tersebut adalah upah bagi mereka yang membangun bangsa ini,
apakah bangsa ini sudah makin maju dari 15 tahun yang lalu? Masa orde baru
ketika dana – dana non budgeter yang dikorupsi tapi implikasi bagi bangsa ini
sangat signifikan juga, meskipun hal tersebut merupakan muka dua dari
pemerintahan orde baru tapi paling tidak kesejahteraan dan pembangunan
Indonesia waktu itu lebih baik dari pada sekarang.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Negara mencakup semua penduduk,
sedangkan pemerintah hanya mencakup sebagian kecil daripadanya. Pemerintah
sering berubah, sedangkan negara terus bertahan (kecuali kalau dicaplok oleh
negara lain). Beberapa kecenderungan dalam pemerintah
yang berdaulat pada masyarakat maju sekarang ini, paling tidak memiliki tiga
perangkat dinas yang terpisah Begitu juga dalam kajian tentang pemerintah kini
mengalami perubahan terutama sejak Perang Dunia II. Kalau saja pada mulanya yang
difokuskan adalah aspek-aspek formal termasuk konstitusinya pada setiap Negara secara terpisah.Akan tetapi sejalan dengan
pengaruh behavioralisme, kini
fokusnya bergeser ke bagaimana sebuah pemerintah beroperasi, baik
lembaga-lembaga formal maupun non-formalnya termasuk partai-partai politik,
kelompok kepentingan dalam suatu kerangka komparatif.
Di era reformasi ini
masyarakat seolah semakin turun kepercayaannya terhadap dunia politik yang
terbukti dari turunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap pemilihan
kepala daerah. Masyarakat juga mungkin akan lebih mempertimbangkan bagaimana
cara untuk mempertahankan hidup di era reformasi ini dibanding harus berpikir
secara kebangsaan, dimana jurang kesenjangan semakin melebar karena birokrasi
lebih berpihak kepada mereka yang bergelar kaum ekonomi menengah ke atas.
Semoga Indonesia masa depan
tercipta masa – masa yang beririsan antara maas orde baru dan juga reformasi
dimana Indonesia bisa lebih sejahtera melebihi tingkat pada waktu orde baru,
Indonesia bisa lebih menghargai keterbukaan publik dan sistem demokrasi seperti
saat ini, Indonesia dapat kembali bangkit dari keterpurukan sistem yang korup
dan dari krisis kepemimpinan. Semoga negarawan – negarawan muda yang terbarukan
di masa depan dapat menggenggam masa depan Indonesia menuju Indonesia yang “Welfare State”.
Daftar pustaka
http://politik.kompasiana.com/2013/03/07/masa-orde-baru-berbanding-dengan-masa-reformasi-540701.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar